Sabtu, 15 Oktober 2011

Arti Agama

Alberico Gentili (1552-1608), seorang Protestan Italia, mengatakan bahwa, “Agama adalah urusan nalar dan kehendak, yang selalu berhubungan dengan kebebasan....Nalar kita dan apapun yang ada di dalamnya tak bisa dipengaruhi oleh kekuatan luar manapun....Apakah anda mengerti? Agama semestinya bebas.”
Narasi Gentili ini seakan menepis keraguan atas relasi yang tak pasti antara agama, nalar dan kebebasan. Selama ini agama dipandang sebagai sebuah sistem pengetahuan transenden yang sulit dicapai nalar. Agama juga dituduh tidak memberi ruang kebebasan nyata bagi pemeluknya dan pihak luar lainnya. Gentili ingin menegaskan bahwa agama harus beriringan dengan kebebasan. Karenanya, tesis ini akan mendasari uraian kita ke depan.
Terdapat dua aspek penting dalam mendefinisikan agama. Pertama, meliputi asumsi metafisika mengenai asal mula agama. Kedua, meliputi tipe pengertian yang digunakan.
1. Asumsi mengenai asal mula agama
Pengertian agama meliputi asumsi asal mula agama. Tiga teori mendasar tentang agama antara lain: pertama, agama dalam konteks metafisika dan teologisnya (contoh kebenaran akan adanya Tuhan, the Dharma, dsb.); kedua, agama sebagaimana secara psikologis dialami oleh orang (contoh perasaan orang tentang kesucian, akhirat, dsb.); dan ketiga, agama sebagai kekuatan sosial budaya (contoh simbolisme yang mengikat sebuah masyarakat bersama-sama atau memisahkannya dari masyarakat lainnya)
2. Tipe pengertian: Esensialis atau Politetis
Pengertian bertipe esensialis mengidentifikasi elemen yang dibutuhkan untuk sesuatu yang disebut sebagai agama. Contoh pengertian bertipe esensialis mengartikan agama secara reduksionis menjadi hanya teistik saja (dan bahkan monoteistik). Intinya, dalam tipe esensialis, setiap agama harus memiliki elemen spesifik. Tipe kedua, yaitu politetis, berpendapat tidak harus seluruh agama memiliki elemen spesifik.
Untuk mendamaikan pengertian agama memang tidak mudah. Namun, bagi umat beragama, arti agama sekalipun tidak menjadi soal. Agama adalah apa yang sehari-hari mereka percayai dan lakukan. Permasalahannya adalah konteks perdaban umat manusia saat ini menunjukkan pluralitas agama itu sendiri. Terlebih, masing-masing memiliki klaim kebenarannya sendiri-sendiri. Aspek-aspek penting untuk menerjemahkan agama di atas ditinggalkan tanpa mendapat apresiasi lebih dalam.
Selanjutnya, untuk memahami agama dalam konteks ini, kita menemukan tiga segi agama (T. Jeremy Gunn, 2003). Pertama, agama sebagai kepercayaan. Agama sebagai kepercayaan menyinggung keyakinan yang orang pegang mengenai hal-hal seperti Tuhan, kebenaran, atau doktrin kepercayaan. Kepercayaan terhadap agama menekankan, contohnya, kesetiaan pada doktrin-doktrin seperti rukun Islam, karma, dharma, atau pesan sinkretik lainnya yang menurut banyak doktrin agama mendasari realitas kehidupan.
Kedua, sementara agama sebagai kepercayaan menekankan pada doktrin, agama sebagai identitas menekankan pada afiliasi dengan kelompok. Dalam hal ini, identitas agama dialami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan keluarga, etnisitas, ras atau kebangsaan. Jadi, orang percaya bahwa identitas agama merupakan sesuatu yang didapatkan setelah proses belajar, berdoa, atau refleksi.
Segi agama yang ketiga ialah agama sebagai jalan hidup (way of life). Dalam segi ini, agama berhubungan dengan tindakan, ritual, kebiasaan dan tradisi yang membedakan umatnya dari pemeluk agama lain. Contohnya, agama sebagai jalan hidup bisa mendorong orang untuk hidup di biara atau komunitas keagamaan, atau melakukan banyak ritual, termasuk shalat lima waktu, mengharamkan daging babi, ataupun menyunat. Dalam segi ini, keimanan berusaha tetap dipegang, bahkan perlu untuk diimplementasikan.
Sekali lagi, kita dihadapkan pada adanya perbedaan segi agama yang diambil oleh para pemeluk agama. Lagi pula, tidak begitu jelas, segi agama mana yang paling benar dan absah. Apakah agama cukup hanya sekedar kepercayaan an sich? Ataukah hanya simbol altruisme kelompok? Atau malah harus menjadi jalan hidup? Tentu saja, masing-masing agama menonjolkan segi agama yang berbeda-beda.
Dalam komentar atas artikel 18 ICCPR, komisi HAM PBB memilih pengertian agama yang luas: ”Artikel 18 melindungi kepercayaan teistik, non-teistik, dan ateistik, sebagaimana hak untuk menunjukkan agama atau kepercayaan. Artikel 18 dalam pelaksanaannya tidak dibatasi kepada agama tradisional atau agama dan kepercayaan dengan karakteristik terlembaga....”
Komentar komisi HAM PBB ini menunjukkan sebuah komitmen atas kebebasan dan toleransi, sekaligus menghindari diskriminasi. Bahwa perlindungan kebebasan beragama sangat luas cakupannya, meliputi kepercayaan teistik – agama samawi dan agama ardli – , non teistik, dan bahkan ateistik. Artinya, dalam konteks hak asasi manusia, perbedaan tafsiran agama dan kegiatan beragama tidak menjadi problem utama. Tekanannya lebih pada upaya perlindungan HAM itu sendiri.
Kembali pada negara dan kebebasan beragama. Peran negara jelas sangat sentral dalam usaha penegakan kebebasan beragama. Termasuk dalam menentukan arti agama. Beragam permasalahan bermunculan seperti; pengakuan enam agama resmi dalam UU No. 1/PNPS tahun 1965, ketentuan penodaan agama dalam Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965, serta berbagai ambiguitas dan inkonsistensi lainnya.
Karena itulah, negara perlu meninjau kembali definisi agama versinya agar sesuai dengan prinsip netralitas negara atas agama-agama. Kesulitan mengartikan agama di awal pembicaraan menyadarkan kita bahwa negara harus mengambil definisi agama yang lebih universal. Implikasinya adalah agama-agama yang saat ini tidak diakui pemerintah akan mendapat kesempatan pengakuan yang sama sebagaimana enam agama “resmi” saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar