Minggu, 12 Februari 2012

Tiga Asas Kerja Pendidikan

Asasinya, pendidikan mencakup 3 (tiga) kerja utama, yaitu: pembebasan, pemberdayaan dan pembudayaan, dengan tetap mempergunakan satu kata kunci “membantu anak didik”. Pembebasan artinya membantu anak didik agar mampu melepaskan dirinya dari berbagai belenggu, sehingga berkembang menjadi manusia-manusia merdeka. Pemberdayaan artinya membantu peserta anak didik agar mampu mengenal dan menggali potensi-potensi dirinya secara maksimal, sehingga berkembang menjadi manusia-manusia unggul dan potensial yang bermanfaat bagi sesama. Sedangkan Pembudayaan artinya membantu peserta didik agar terbiasa hidup berdisiplin, sehingga mampu berproses menjadi manusia berkepribadian, beradab dan berbudaya.
Menyangkut pertanyaan, apakah sistem pendidikan full day dapat menjamin tingkat pemahaman anak didik terhadap pelajaran. Tentulah membutuhkan waktu panjang untuk menjawab pertanyaan tersebut secara sempurna. Sebab sistem pendidikan full day bukanlah mesin pencetak uang yang secara langsung dapat menghasilkan setumpuk kertas bermata uang. Apalagi kalau kita pikir, murid yang digodok sepanjang hari saja dalam sistem full day pemahamannya masih dirasa kurang, apalagi yang tidak.
Dengan demikian sistem sekolah full day lebih diartikan sebagai sarana pendidikan yang lebih efektif dan efisien dengan bantuan dan pengawasan guru (bukan penjejalan) dalam peranannya sebagai tut wuri handayani. Dalam hal ini, guru dituntut sebagai mitra pendorong bagi peserta didik tanpa menghilangkan kharismatik dia sebagai seorang guru. Seorang guru bisa menjadi orang tua, teman dan bahkan sebagai tempat curhat peserta didik, yang ini sering kita kenal dengan guru BP, walaupun seharusnya setiap guru akrab dengan peserta didik.
Pada paragraf lain Nur Imamah menyatakan bahwasanya pengetahuan hanya memenuhi satu aspek berupa akal dan otak semata. Nah, perlu digarisbawahi bahwasanya interaksi sosial juga merupakan pengetahuan yakni pengetahuan bersosialisasi, sosialisasi agama adalah pengetahuan beragama, memelihara alam juga merupakan pengetahuan pemeliharaan alam. Karena sebagaimana dijelaskan tadi bahwasanya pengetahuan merupakan produk dari sebuah proses pendidikan.
Kembali pada tiga asas pendidikan di atas, maka stigma negatif pendidikan full day adalah ragam sistem pendidikan yang dapat mengekang kebebasan anak didik perlu dipikir kembali. Stigma tersebut mungkin benar Apabila pola pendidikannya hanya dipusatkan pada transformasi ilmu pengetahuan semata, sebagaimana yang selama ini dilaksanakan secara klasikal di kelas-kelas dengan sistem ceramah, peserta didik hanya menjadi objek pendidikan yang terus dijejali oleh berbagai teori ilmu, sehingga timbul rasa bosan dalam proses belajar-mengajar di sekolah.
Mengenai tiga asas pendidikan tadi, bisa dianalogikan dengan perilaku ‘kaum sufi’ dalam menjalani kehidupan mereka dalam meniti jenjang marqoum mereka. Pembebasan dianalogikan dengan ‘takholli’ atau upaya mengosongkan diri dari sifat-sifat dan perilaku yang tercela. Pemberdayaan dianalogikan dengan ‘tahalli’ atau upaya menghias diri dengan sifat-sifat dan perilaku yang terpuji. Sedangkan pembudayaan dianalogikan dengan ‘tajalli’ atau upaya membuat diri merasa bahwa Allah ada di mana-mana dan mengetahui apa saja syang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan. Di kalangan kaum sufi ketiganya dikenal dengan istilah “Bainal Kho’ wal Jim”. Subhanallah Waqina ‘Adzabannar!
Secara lebih aplikatif, barang kali kita memang perlu merepro ulang sistem full day yang ada. Sebab apabila tiga asas di atas mampu diaplikasikan dan ditindaklanjuti dengan pertanyaan “apa saja belenggu-belenggu yang harus dibebaskan dari peserta didik? Apa saja potensi-potensi peserta didik yang harus digali dan dikembangkan? Dan apa saja budaya-budaya yang harus ditanam ke dalam jiwa peserta didik?” Maka sistem pendidikan full day akan sangat menjanjikan, karena anak didik berada di bawah tanggung jawab guru yang mengerti akan kebutuhan anak didik serta mumpuni dalam peningkatan prestasinya, baik berupa prestasi intelektual maupun prestasi spiritual dan moral.
Nah, apabila pertanyaan-pertanyaan di atas yang dikemukakan, maka jawabannya tidak lain adalah belenggu yang ada bisa dimotivasi oleh, “hawa nafsu” yang indikasinya pada perasaan sombong dan berbangga diri (superioritas), egois, acuh tak acuh, arogan, kecil hati (inferioritas), malas, serta putus asa. Kedua, dimotivasi oleh “syetan” yang indikasinya pada sikap irrasional atau klenik, gila harta dan wanita, menipu, merendahkan orang lain, menggunjing, suka menentang kebenaran, berdusta dan lain sebagainya.
Jawaban yang kedua berkenaan dengan potensi adalah penggalian bakat-bakat yang ada sejak kecil (heterogenitas) dan bakat yang muncul akibat pergaulan dan pendidikan tertentu (environmentalitas), misalnya bakat menulis, bisa dikembangkan dengan mengaktifkan kelompok-kelompok jurnalistik atau keilmuwan.
Sedangkan yang ketiga, berkenaan dengan budaya, para guru perlu menanamkan sifat bijak kepada peserta didik yang sesuai dengan akal sehat dan kapasitas pribadi anak didik dengan tidak bertentangan dengan budaya bangsa dan syari’at Islam, baik yang berhubungan dengan interaksi ketuhanan dan kenabian (moralitas dan spiritualitas), interaksi ke dalam atau interaksi pribadi (disiplin diri), interaksi sosial (disiplin sosial) serta interaksi lingkungan (disiplin berlingkungan alam). Dari pertanyaan dan jawaban itulah para guru dapat berinteraksi secara harmonis dengan peserta didik, dengan terus memegang kata kunci “membantu dan mengarahkan” dan bukan menjejali, sehingga tidak ada lagi jarak antara pendidik dan peserta didik sebagaimana sejarah berlalu selama ini.