Senin, 24 Oktober 2011

PERKEMBANGAN POLITIK ISLAM DI INDONESIA

1. Islam Menyatu dengan Pranata Politik Local

Islam datang ke Indonesia terbukti dilakukan dengan secara damai. Berbeda dengan penyebaran islam yang dilakukan di Timur Tengah yang dalam beberapa kasus disertai dengan pendudukan wilayah oleh militer Muslim. Islam masuk ke Indonesia setelah kehancuran Baghdad sehingga menyebabkan pedagang muslim mengalihkan aktivitas perdagangan ke araha Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara.

Bersamaan dengan para pedagang dating pula dai-dai dan musafir-musafir sufi. Dari perdagangan tersebut terjadilah hubungan timbale balik, sehingga terbentuklah perkampungan masyarakat Muslim. Pertumbuhan perkampungan ini malin meluas sehingga perkampungan itu tidak hanya bersifat ekonomis, tetapi membentuk struktur pemerintahan dengan mengangkat Meurah Silu, kepala suku Gampung Samudra menjadi Sultan Malik as-Sholeh.

Dari paparan diatas dapat dijelaskan bahwa tersebarnyaIslam ke Indonesia adalah melalui : perdagangan, Dakwah, Perkawinan, Pendidikan, tasawuf dan tarekat, dan kesenian.

2. Ulama sebagai legitimator politik kerajaan

Pengaruh ini dapat dilihat dalam system pemerintahan kerajaan-kerajaan Islam Indonesia seperti konsep khilafah atau kesultanan yang sering kita jumpai dalam kerajaan-kerajaan seperti Aceh, Mataram, Demak, Banten, dan Tidore.

3. Pemberontakan Rakyat Terhadap Belanda

a. Perang Diponegoro

Ulama atas nama Islam menggalang kekuatan untuk melawan penjajah. Terjadilah perang jawa (1825-1830 M) dipelopori pangeran Diponegoro didampingi Kiai Mojo (1873-1905 M). walaupun perang besar ini berakhir dengan kekalahan, tetapi peran politik ulama telah menjadi pelajaran politik umat Islam Indonesia. Penggalangan atas nama Islam telah memupuk cinta tanah air dan anti kolonial. Nilai “perang sabil” yang dicanangkan oleh para ulama selalu menjadi landasan yang kuat dalam ketahanan umat untuk mengusir dan melawan kolonial.

b. Kalangan Petani (1888 M)

Ketika penjajahan Belanda semakin meluas, maka muncullah gerakan protes petani dipimpin oleh ulama lokaluntuk melawan Belanda dan pembantu-pembantu raja-raja tradisional yang dianggap kafir. Para petani dan ulama lokal menganggap gerakan itu sebagai perang suci, perang terhadap kafir. Diantara gerakan protes petani lokal yang dianggap terbesar adalah yang terjadi di Cilegon. Dengan faktor: situasi kolonial yang menghipit kehidupan rakyat, kondisi yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Islam, pelarangan Umat Islam melakukan Ibadah, tindakan yang semena-mena, penggusuran tanah milik rakyat yang suburuntuk tanaman tebu, kerja paksa, pajak yang memeras, dan lain-lain.

1. Pergeseran Politik Keagamaan dari Istana kepada rakyat atau Ulama

Dengan keadaan demikian (rakyat resah dan menderita), mendorong para kiai, ulama, atau haji untuk menghimpun rakyat tampil sebagai pemimpin dengan cara menghubungi beberapa pesantren. Melalui khutbah-khutbahnya mereka membantu rakyat membebaskan diri dari tindakan pemerasan Bekanda dengan melakukan perang jihad. Mereka berhasil mendapatkan dukungan luas. Namun, karena gerakan protes itu hanya bersifat lokal, kurang terkoordinasi dengan matang, maka gerakan itu dengan cepat dapat ditumpas oleh Belanda. Gerakan seperti ini belum dapat mengubah karena hanya berupa letupan seketika.

2. Perbandingan Politik Islam Era Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi

a. Era Orde Lama

Sejak masa Demokrasi Terpimpin, Indonesia mengalami masa yang disebut Orde Lama (10 oktober 1956). Majelis konstituante hasil pemilu 1955 mulai bersidang di Bandung 10 November 1956 untuk merumuskan UUD. 1949, UUD 1945 telah diganti menjadi RIS, ketika Indonesia kembali ke Republik persatuan 1950, UUD masih bersifat sementara. Oleh karena itu, Majelis Konstituante bertugas merumuskan UUD yang sah dan tetap.

Perdebatan muncul pada BPUPKI yang akan merumuskan rancangan UUD sebagai persiapan menghadapi Indonesia merdeka. Dalam majelis konstituante1955, menyalurkan aspirasi secara demokratis untuk membentuk Negara. Apakah Negara ini republik Islam Indonesia atau cukup Republik Indonesia saja? Apakah lambang dan benderanya dalam negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam? Apakah hukum Islam yang didasarkan Al-Quran dan Hadis dapat digunakan dalam kehidupan baik perorangan, keluarga, masyarat, maupun Negara? Tuntutan tersebut dengan sebab:

 Islam adalah sebuah konsep yang utuh yang tidak membedakan negara dan masyarakat
 Islam telah tampil dalam sejarah Indonesia dalam proses terbenntuknya negara dan bangsa sejak zaman sultan beserta ulama-ulama melawan kolonial.
 Kenyataan bahwa secara kuantitatif mayoritas rakyat Indonesia adalah Islam.

Pada tanggal 5 juli 1958 presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden RI/panglima Tertinggi Angkatan Perang. Isi dekrit :
 Pembubaran Majelis Konstituante
 Kembali ke UUD 1945 dan mencabut UUD sementara
 Membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri dari anggota DPR ditambah utusan daerah dan golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara.

Pada masa Demokrasi terpimpin, Masyumi dan PSII dibubarkan. Akan tetapi masih ada wakil umat Islam di Parlemen, yaitu NU. Pertentangan terjadi dimana-mana. Secara umum, pada tahun 1960-an terdapat golongan NU, PNI, dan PKI. Ketiganya adalah pendukung Nasakom yang dimaksudkan sebagai ide pemersatu, tapi pada kenyataanya malah menjadi unsur pemecah belah. Tahun 1964, PKI melancarkan berbagai aksi: merebut tanah perkebunan, tanah wakaf, melakukan penggerebegan dan penganiayaan. Tahun 1965, terjadi bentrokan antara PKI dan Islam.

Peristiwa ini telah mengembangkan kerjasama yang baik antara kelompok tentara dan kelompok / organisasi Islam melawan PKI. Tahun 1966, aksi pemuda, mahasiswa, pelajar dan ABRI berhasil menurunkan Soekarno dan membubarkan PKI serta melarang semua ajaran komunis di Indonesia.

b. Era Orde Baru

Sejak terjadinya G30S PKI,kedudukan Soekarno semakin kritis. Aksi pemuda yang disebut sebagai “angkatan” seperti yang tergabung dalam KAMI dan KAPPI, dimana HMI mempunyai peranan sangat penting,turun ke jalan menuntut: (1) turunkan harga, (2) bubarkan PKI, (3) anti penyelewengan. Orde Baru menunjuk kepada tatanan dengan tujuan kehidupan sosial, politik, ekonomi, kultural yang dijiwai oleh moral Pancasila, khususnya sila pertama. Dengan demikian Soeharto meraih kekuasaan berdasarkan sebuah koalisi para perwira militer, organisasi-organisasi Muslim dengan golongan Kristen.

Orde Baru mengalami banyak perubahan. Restrukturisasi politik, dilakukan tidak hanya dalam penyederhanaan partai politik tapi juga dalam bentuk penyadaran pentingnya persatuan.

Menjelang diberlakukannya asas tunggal, semula umat islam banyak yang cemas karena UU no.8/1985 mewajibkan semua ormas mencantumkan asas tunggal yang berarti dilarang mencantumkan asas lain sebagai ciri khas atau identitas sendiri. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dari berbagai golongan, umat Islam dengan segala keberaniannya menerima pancasila sebagai asas tunggal sambil berusaha untuuk mengisinya dengan nilai-nilai Islam. Setelahh asas tunggal diterima, umat Islam mulai berjuang untuk berbagai masalah, mulai dari masalah pernikahan, hubungan umat dengan pemerintah, hingga masalah ekonomi.

Namun Soeharto adalah seorang yang dikatakan melanjutkan politik Snouck Hurgronje yang berpendapat bahwa umat Islam harus diberikan fasilitas. Dengan demikian umat tersebut berkembang dan asyik dalam bidang sosial keagamaan saja, tapi dalam bidang politik tidak diberi kesempatan.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa kebijakan Soekarno dan Soeharto terhadap pergerakan Muslim ternyata sama. Yaitu membedakan aspek keagamaan dan aspek politik.

Sampai tanggal 19 Mei 1998 tidak ada tanda-tanda Soeharto akan lengser. Yang terlihat justru Soeharto akan menggunakan militer untuk menghabisi gerakan pro demokrasi. Namun karena desakan dari banyak pihak terutama para ulama dan tokoh nasional, agar membatalkan rencana demi menghindari jatuhnya banyak korban, Amien setuju mengurungkan niatnya untuk memimpin apel akbar Tugu Monas 20 Mei 1998, yang diikuti ratusan ribu rakyat. Tak dapat dipungkiri rencana apel akbar di Monas itu adalah salah satu faktor utama yang membuat soeharto akhirnya memilih mundur, pada tanggal 21 Mei 1998. Dan melantik Habibie, yang merupakan wakil, menjadi Presiden RI.

b. Era Orde Reformasi

Runtuhnya pemerintahan Orde Baru yang otoriter dan korup membawa harapan munculnya pemerintahan yang demokratis. Hal itu tercermin dari kebebasan mendirikan partai politik. Termasuk didalamnya partai-partai Islam. Hal ini memengaruhi ulama untuk kembali aktif di dunia politik dengan terjun langsung untuk memenangkan partai tertentu sesuai dengan posisinya.

Pemilu 1999 telah membawa ulama ikut berperan kembali secara mandiri di dalam pemerintahan, sehingga beberapa ulama telah duduk di legislatif. Sampai pada pemilu 2004, serta pemilihan langsung presiden/wakil presiden 5 juli 2004, peran ulama dalam politik terus berlanjut.

C. PERKEMBANGAN SENI BUDAYA ISLAM

Produk kesenian Islam di Indonesia sebenarnya sangat minim apabila dibandingkan dengan produk kesenian di negara Islam yang lain. Hal itu karena semangat yang mendorong muslim di negara lain untuk menciptakan pekerjaan besar tidak muncul di Indonesia. Kalaupun ada, biasanya hanya berasal dari pengaruh luar atau hanya berupa peniruan yang tidak begitu sempurna. Diantara penyebab kesenian Islam tidak begitu berkembang adalah:

1. Islam datang ke Indonesia akibat dampak kehancuran Baghdad, sehingga para pedagang ataupun ulama yang datang pada saat itu lebih memikirkan keselamatan mereka.

2. Di Indonesia, terutama dipulau jawa pada saat Islam dating sudah memiliki peradaban asli yang dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha. Yang sudah mengakar kuat terutama dipusat pemerintahan. Hal itu yang menyebabkan seni Islam yang harus menyesuaikan diri.

3. Umat Islam pendatang itu mayoritas adalah pedagang yang berorientasi mencari keuntungan. Kalaupun ada Ulama yang tidak berorientasi pada hal itu, akan tetapi mereka berdakwah dan tidak menetap pada tempat tertentu, sehingga mereka tidak berpikir untuk membuat sesuatu yang abadi.

4. Ketika ada usaha kaum pribumi untuk membangun, usaha itu dihancurkan oleh bangsa Barat yang sejak semula memang sudah bersikap memusuhi terhadap umat Islam.

5. Islam yang datang ke indonesia bercorak Islam Tasawuf, sehingga lebih mementingkan rohani daripada masalah duniawi.

6. Nusantara adalah negeri yang merupakan jalur perdagangan Internasional, sehingga penduduknya lebih mementingkan masalah perdagangan daripada kesenian.

7. Islam datang dengan jalan damai. Asalkan tidak melanggar aturan Agama maka hal itu tidak dilarang. Karena itulah aspek seni dan budaya yang ada di Indonesia tidak sehebat di negara Islam yang lain.

walaupun terdapat faktor-faktor yang menghambat perkembangan seni Budaya Indonesia, akan tetapi ada beberapa produk budaya yang sangat penting. Adapun kesenian Islam itu adalah:

a. Batu nisan

Kesenian Islam pertama masuk ke Indonesia adalah dalam bentuk batu nisan. Batu nisan yang ada pada saat itu didatangkan dari Gujarat. Akan tetapi pada perkembangan selanjutnya dibuat sendiri oleh orang-orang Indonesia, yang bentuknya sesuai dengan kebudayaan masing-masing daerah. Bentuk makam dari abad permulaan masuknya Agama Islam menjadi contoh model bagi makam Islam selanjutnya. Hal ini karena sebelum datangnya Islam tidak ada tradisi pemakaman.

b. Arsitektur (seni bangunan)

Seni bangunan yang bercorak Islami jarang sekali dijumpai di Indonesia. Hampir tidak ada bangunan Islam di Indonesia yang menunjukkan keagungan Islam yang setaraf dengan bangunan bersejarah yang ada di negara Islam lainnya. Disamping itu, Indonesia tidak memiliki satu corak tersendiri seperti Ottoman Style, India style dan Syiro Egypt style, meskipun Islam telah lima abad ada di Indonesia.

Model bangunan Islam pada saat itu masih sangat kental dengan aplikasi, bahkan peniruan model bangunan Hindu Budha. Hal ini dapat dilihat pada model-model masjid dan beberapa perlengkapannya, seperti: menara masjid, atap tumpang dan beduk raksasa yang semuanya adalah mengaplikasi bentuk budaya Hindu dan Budha.

Pasca kemerdekaan, Indonesia dapat berhubungan dengan bangsa yang lain. Maka sedikit demi sedikit unsur-unsur lama dapat dihilangkan. Atap tumpang yang sangat identik dengan bangunan ala hindu Budha dimodofikasi dengan kubah dari masjid timur tengah atau India. Selain itu, masjid-masjid di Indonesia dalam perkembangannya banyak meniru model-model masjid Negara Islam lainnya.

Seperti masjid Syuhada yang ada di yogyakarta yang menyerupai taj mahal India, masjid Istiqlal yang menyerupai ottoman style yang ada di Byzantium dan masjid Al-Tien(di TMII) yang meniru model bangunan
India.

c. Seni sastra

Dalam perekembangan bidang sastra, kebudayaan Indonesia banyak dipengaruhi oleh Persia, antara lain dengan adanya buku-buku yang disadur kedalam bahasa Indonesia. Buku-buku itu antara lain: kalilah wa dimnah, bayam budiman, abu nawas dan kisah seribu satu malam. Selain itu kesusastraan Islam juga berwujud syair sufi, diantara yang terkenal adalah syair yang dikarang oleh Hamzah Fansuri yang berjudul syair perahu. Selain itu ada pula seni tulisan arab yang disebut Khot.

Khot yang ada di Indonesia tidak seberapa menonjol dibandingkan dengan Negara Islam yang lain. Pada awal munculya, khot ditulis pada nisan-nisan atau makam para ulama. Selain itu khot juga ditulis pada masjid sebagai hiasan dinding. Akan tetapi seni kaligrafi tidak begitu berkembang, karena penerapan kaligrafi arab sebagai hiasan sangat terbatas. Walaupun demikian, seni hias di kitab-kitab agak berkembang di Aceh dan kerajaan-kerajaan lain yang ulamanya banyak menulis kitab-kitab keagamaan.

Muncul pula berbagai seni tari religius, seperti tari saman dari Aceh, tari samroh dan rudad dari Banjarmasin, atraksi debus dari Banten dan wayang yang berasal dari Jawa. Wayang merupakan penggabungan antara seni Islam dan hindu, yang mencakup di dalamnya seni ukir, tari dan seni lagu. Pada awal munculnya Islam ada beberapa seni yang sengaja tidak terlalu dikembangkan, seperti arca, seni tuang logam mulia, dan seni lukis. Hal itu karena masih adanya perselisihan hukum Islam yang melarang tentang hal-hal itu.

d. seni ukir

Seni ukir atau ukiran merupakan gambar hiasan dengan bagian-bagian cekung (kruwikan) dan bagian-bagian cembung (buledan) yang menyusun suatu gambar yang indah. Pengertian ini berkembang hingga dikenal sebagai seni ukir yang merupakan seni membentuk gambar pada kayu, batu, atau bahan-bahan lain.

Bangsa Indonesia mulai mengenal ukir sejak zaman batu muda (Neolitik), yakni sekitar tahun 1500 SM. Pada zaman itu nenekmoyang bangsa Indonesia telahmembuat ukiran pada kapak batu, tempaan tanah liat atau bahan lain yang ditemuinya. Motif dan pengerjaan ukiran pada zaman itu masih sangat sederhana. Umumnya bermotif geometris yang berupa garis, titik, dan lengkungan, dengan bahan tanah liat, batu, kayu, bambu, kulit, dan tanduk hewan Pada zaman yang lebih dikenal sebagai zaman perunggu, yaitu berkisar tahun 500 hingga 300 SM. Bahan untuk membuat ukiran telah mengalami perkembangan yanitu menggunakan bahan perunggu, emas, perak dan lain sebagainya.

Dalam pembuatan ukirannya adalah menggunakan teknologi cor. Motif-motif yang di gunakanpada masa zaman perunggu adalah motif meander, tumpal, pilin berganda, topeng, serta binatang maupun manusia. Motif meander ditemukan pada nekara perunggu dari Gunung merapi dekat Bima. Motif tumpal ditemukan pada sebuah buyung perunggu dari kerinci Sumatera Barat, dan pada pinggiran sebuah nekara (moko dari Alor, NTT. Motif pilin berganda ditemukan pada nekara perunggu dari Jawa Barat dan pada bejana perunggu darikerinci, Sumatera. Motif topeng ditemukan pada leher kendi dari Sumba. Nusa Tenggara, dan pada kapak perunggu dari danau Sentani, Irian Jaya. Motif ini menggambarkan muka dan mata orang yang memberi kekuatan magis yang dapat menangkis kejahatan. Motif binatang dan manusia ditemukan pada nekara dari Sangean.
Setelah agama Hindu, Budha, Islam masuk ke Indonesia, seni ukir mengalami perkembangan yang sangat pesat, dalam bentuk desain produksi, dan motif. Ukiran banyak ditemukan pada badan-badancandi dan prasasti-prasasti yang di buat orang pada masa itu untuk memperingati para raja-raja. Bentuk ukiran juga ditemukan pada senjata-senjata, seperti keris dan tombak, batu nisan, masjid, keraton, alat-alat musik, termasuk gamelan dan wayang. Motif ukiran, selain menggambarkan bentuk, kadang-kadang berisi tentang kisah para dewa, mitos kepahlawanan, dll. Bukti-bukti sejarah peninggalan ukiran pada periode tersebut dapat dilihat pada relief candi Penataran di Blitar, candi Prambanan dan Mendut di Jawa Tengah.
Saat sekarang ukir kayu dan logam mengalami perkembangan pesat. Dan fungsinyapun sudah bergeser dari hal-hal yang berbau magis berubah menjadi hanya sebagai alat penghias saja.pada ukiran kayu meliputi motif Pejajaran, Majapahit, Mataram, Pekalongan, Bali, Jepara, Madura, Cirebon, Surakarta, Yogyakarta, dan berbagai macam motif yang berasal dari luarJawa.


D. Kesimpulan Penulis

Sudah jelas bahwa Nusantara ibarat burger, mula-mula sebagai tanah subur yang dihuni oleh manusia sederhana yang hanya berkontradiksi dengan alam. Sehingga waktu mereka hanya diforsir untuk berpindah tempat guna memenuhi hajat hidup mereka. Saat itu pun sudah ada system patriarki dan matriarki, statemen ini terbukti akan adanya pembagian kerja, dan cirri khas dari masyarakat Indonesia sederhana zaman dahulu adalah kolektif, atau sekarang lebih dikenal dengan gotong royong

Akan tetapi setelah kedatangan bangsa asing yang pada saat itu hanya berkepentingan untuk berdagang dan mencari rempah-rempah, akan tetapi lambat laun mereka mulai tertarik untuk tinggal di nusantara hingga berbagai suku masuk serta terciptanya sebuah culture baru yang saling silih berganti, hingga semuanya tergantikan dan dikondisikan oleh kultur islam sehingga tertulislah dalam makalah ini, sejarah peradaban islam dari zaman orde lama hingga reformasi, serta bukti mater akan adanya berbagai seni budaya peninggalan islam.


Daftar Rujukan

Sunanto, Musyrifah, 2007. Sejarah Peradaban Islam Indonesia, PT Raja Grafindo Jakarta.

Maartin van Bruinessen, 1995. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat. Tradisi=Tradisi Islam di Indonesia. Mizan, Bandung.

Sabtu, 15 Oktober 2011

Arti Agama

Alberico Gentili (1552-1608), seorang Protestan Italia, mengatakan bahwa, “Agama adalah urusan nalar dan kehendak, yang selalu berhubungan dengan kebebasan....Nalar kita dan apapun yang ada di dalamnya tak bisa dipengaruhi oleh kekuatan luar manapun....Apakah anda mengerti? Agama semestinya bebas.”
Narasi Gentili ini seakan menepis keraguan atas relasi yang tak pasti antara agama, nalar dan kebebasan. Selama ini agama dipandang sebagai sebuah sistem pengetahuan transenden yang sulit dicapai nalar. Agama juga dituduh tidak memberi ruang kebebasan nyata bagi pemeluknya dan pihak luar lainnya. Gentili ingin menegaskan bahwa agama harus beriringan dengan kebebasan. Karenanya, tesis ini akan mendasari uraian kita ke depan.
Terdapat dua aspek penting dalam mendefinisikan agama. Pertama, meliputi asumsi metafisika mengenai asal mula agama. Kedua, meliputi tipe pengertian yang digunakan.
1. Asumsi mengenai asal mula agama
Pengertian agama meliputi asumsi asal mula agama. Tiga teori mendasar tentang agama antara lain: pertama, agama dalam konteks metafisika dan teologisnya (contoh kebenaran akan adanya Tuhan, the Dharma, dsb.); kedua, agama sebagaimana secara psikologis dialami oleh orang (contoh perasaan orang tentang kesucian, akhirat, dsb.); dan ketiga, agama sebagai kekuatan sosial budaya (contoh simbolisme yang mengikat sebuah masyarakat bersama-sama atau memisahkannya dari masyarakat lainnya)
2. Tipe pengertian: Esensialis atau Politetis
Pengertian bertipe esensialis mengidentifikasi elemen yang dibutuhkan untuk sesuatu yang disebut sebagai agama. Contoh pengertian bertipe esensialis mengartikan agama secara reduksionis menjadi hanya teistik saja (dan bahkan monoteistik). Intinya, dalam tipe esensialis, setiap agama harus memiliki elemen spesifik. Tipe kedua, yaitu politetis, berpendapat tidak harus seluruh agama memiliki elemen spesifik.
Untuk mendamaikan pengertian agama memang tidak mudah. Namun, bagi umat beragama, arti agama sekalipun tidak menjadi soal. Agama adalah apa yang sehari-hari mereka percayai dan lakukan. Permasalahannya adalah konteks perdaban umat manusia saat ini menunjukkan pluralitas agama itu sendiri. Terlebih, masing-masing memiliki klaim kebenarannya sendiri-sendiri. Aspek-aspek penting untuk menerjemahkan agama di atas ditinggalkan tanpa mendapat apresiasi lebih dalam.
Selanjutnya, untuk memahami agama dalam konteks ini, kita menemukan tiga segi agama (T. Jeremy Gunn, 2003). Pertama, agama sebagai kepercayaan. Agama sebagai kepercayaan menyinggung keyakinan yang orang pegang mengenai hal-hal seperti Tuhan, kebenaran, atau doktrin kepercayaan. Kepercayaan terhadap agama menekankan, contohnya, kesetiaan pada doktrin-doktrin seperti rukun Islam, karma, dharma, atau pesan sinkretik lainnya yang menurut banyak doktrin agama mendasari realitas kehidupan.
Kedua, sementara agama sebagai kepercayaan menekankan pada doktrin, agama sebagai identitas menekankan pada afiliasi dengan kelompok. Dalam hal ini, identitas agama dialami sebagai sesuatu yang berhubungan dengan keluarga, etnisitas, ras atau kebangsaan. Jadi, orang percaya bahwa identitas agama merupakan sesuatu yang didapatkan setelah proses belajar, berdoa, atau refleksi.
Segi agama yang ketiga ialah agama sebagai jalan hidup (way of life). Dalam segi ini, agama berhubungan dengan tindakan, ritual, kebiasaan dan tradisi yang membedakan umatnya dari pemeluk agama lain. Contohnya, agama sebagai jalan hidup bisa mendorong orang untuk hidup di biara atau komunitas keagamaan, atau melakukan banyak ritual, termasuk shalat lima waktu, mengharamkan daging babi, ataupun menyunat. Dalam segi ini, keimanan berusaha tetap dipegang, bahkan perlu untuk diimplementasikan.
Sekali lagi, kita dihadapkan pada adanya perbedaan segi agama yang diambil oleh para pemeluk agama. Lagi pula, tidak begitu jelas, segi agama mana yang paling benar dan absah. Apakah agama cukup hanya sekedar kepercayaan an sich? Ataukah hanya simbol altruisme kelompok? Atau malah harus menjadi jalan hidup? Tentu saja, masing-masing agama menonjolkan segi agama yang berbeda-beda.
Dalam komentar atas artikel 18 ICCPR, komisi HAM PBB memilih pengertian agama yang luas: ”Artikel 18 melindungi kepercayaan teistik, non-teistik, dan ateistik, sebagaimana hak untuk menunjukkan agama atau kepercayaan. Artikel 18 dalam pelaksanaannya tidak dibatasi kepada agama tradisional atau agama dan kepercayaan dengan karakteristik terlembaga....”
Komentar komisi HAM PBB ini menunjukkan sebuah komitmen atas kebebasan dan toleransi, sekaligus menghindari diskriminasi. Bahwa perlindungan kebebasan beragama sangat luas cakupannya, meliputi kepercayaan teistik – agama samawi dan agama ardli – , non teistik, dan bahkan ateistik. Artinya, dalam konteks hak asasi manusia, perbedaan tafsiran agama dan kegiatan beragama tidak menjadi problem utama. Tekanannya lebih pada upaya perlindungan HAM itu sendiri.
Kembali pada negara dan kebebasan beragama. Peran negara jelas sangat sentral dalam usaha penegakan kebebasan beragama. Termasuk dalam menentukan arti agama. Beragam permasalahan bermunculan seperti; pengakuan enam agama resmi dalam UU No. 1/PNPS tahun 1965, ketentuan penodaan agama dalam Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965, serta berbagai ambiguitas dan inkonsistensi lainnya.
Karena itulah, negara perlu meninjau kembali definisi agama versinya agar sesuai dengan prinsip netralitas negara atas agama-agama. Kesulitan mengartikan agama di awal pembicaraan menyadarkan kita bahwa negara harus mengambil definisi agama yang lebih universal. Implikasinya adalah agama-agama yang saat ini tidak diakui pemerintah akan mendapat kesempatan pengakuan yang sama sebagaimana enam agama “resmi” saat ini.

Kamis, 22 September 2011

Fenomenologi dalam Sosiologi Agama

Pendahuluan
Salah satu fenomena intelektual yang menarik pada pertengahan abad kedua puluh Masehi ialah meluasnya minat terhadap agama di satu pihak, dan di satu pihak yang lain pula, wujud semacam suatu fenomena yang paradoks terhadap kepentingan agama serta kepercayaan beragama di kalangan kebanyakan masyarakat moden. Menurut Robertson (1972: 11) dalam kata pendahuluan editorial beliau dalam buku Sociology of Religion, lebih mendasar lagi ialah kecenderungan intelektual terhadap kepercayaan-kepercayaan beragama ini kelihatannya merupakan sebahagian daripada keprihatinan umum terhadap persoalan makna dan tujuan dalam kehidupan sosial, asas-asas etika, moral dan nilai, dan sebagainya. Ringkasnya, ia adalah persoalan tentang signifikasi kewujudan manusia serta keunikan keberadaannya dalam dunia moden yang bersifat sekular (O’dea dan O’dea, 1973: ix).
Ahli antropologi dan sosiologi pada abad pertengahan dan akhir kurun ke sembilan belas Masehi secara umumnya cenderung menanggapi agama dalam bentuk ketidakserasiannya (inappropriateness) dengan realiti masyarakat industri. Agama menurut ahli antropologi dan sosiologi Barat ini, merupakan suatu fenomena yang semakin luntur kepentingannya disebabkan berkembang majunya masyarakat moden (Robertson pnyt, 1972). Pendekatan sosiologi seperti ini merupakan unsur dominan dalam tradisi rasionalisme atau positivisme era abad kesembilan belas Masehi yang dilandasi oleh anggapan bahawa agama adalah sesuatu yang irrational (tidak rasional) serta illusory (bersifat ilusi) (Hamilton 2001).
Walau bagaimanapun, bentuk pemikiran bersifat evolusionari ini disanggah kuat oleh beberapa ahli sosiologi terkemuka seperti Max Weber (1864-1920) dan Emile Durkheim (1858-1917). Kedua-dua tokoh ini yang walaupun berbeza dari sudut kecenderungan dan kebanyakan daripada kesimpulan mereka, mempunyai suatu matlamat umum untuk memahami serta menjelaskan ciri-ciri sosial dan budaya yang dominan masyarakat industri. Persoalan utama yang menjadi tema pemikiran dan kajian sosiologi mereka ialah memahami peranan agama serta impaknya dalam masyarakat serta sejarah manusia, kepelbagaian dan pengaruh-pengaruh sosial yang membentuknya dan akhirnya, bagaimana masyarakat moden dapat diurus tanpa pengaruh agama (Hamilton 2001; Robertson pnyt, 1972).
Hal ini dapat dikaitkan dengan realiti masyarakat moden Barat yang telah melalui proses perjalanan sejarah yang panjang dan penuh konflik berdarah dalam realisasi transformasi hubungan antara gereja dan Negara; atau lebih mendasar lagi, antara agama (revelation) dan akal (reason). Justeru peranan agama sebagai pengikat organisasi sosial masyarakat era pra-moden melalui institusi-institusi sosio-agama (socio-religious institutions) seperti gereja, masjid, kuil dan sebagainya, terutama dimensi fungsi psiko-sosialnya dalam identifikasi individu dalam keberadaan budaya serta lingkungannya, menjadi fokus utama pengkajian kedua-dua sosiologis Barat ini. Fokus fungsi agama dalam konteks hubungan sosial ini terutama sekali dipelopori oleh Emile Durkheim yang lebih dikenali dengan teori Fungsionalisme, atau lebih jelas lagi, teori kefungsian agama.
Tradisi positivisme agama yang dibawa oleh Durkheim menerusi teori atau pendekatan fungionalis walau bagaimanapun tidak sunyi daripada kritikan ahli sosiologi Barat, termasuk Weber. Namun kalangan ahli sosiologi yang membina tradisi yang sekaligus berbeza bahkan bersifat anti-positivis adalah mereka yang dikenali sebagai golongan fenomenologis (phenomenologist), iaitu mereka yang menerimapakai teori dan pendekatan fenomenologi dalam pengkajian mereka terhadap agama terutamanya Edmund Husserl (1859-1938) dan Martin Heidegger (1889-1976).
Penulisan ini justeru bertujuan untuk membincangkan pendekatan fenomenologi dalam Sosiologi Agama berdasarkan pemikiran kedua-dua tokoh ini, iaitu Husserl dan Heidegger serta melihat kepentingan pendekatan ini dalam kajian sosiologi agama secara menyeluruh.

Definisi Agama
Ahli sosiologi dan antropologi berbeza pandangan tentang definisi agama atau “religion”. Mereka cenderung melihat agama sebagai suatu set yang abstrak tentang idea, nilai atau pengalaman yang terbina sebagai sebahagian daripada matriks budaya. Justeru hubungan agama dengan masyarakat bukan hanya dirujuk dari aspek kepercayaan terhadap satu kuasa yang transenden dan absolut, tetapi unsur budaya dan bahasa yang memungkinkan penghuraian kepada realiti dan ekpresi sikap, perasaan dan sentimen dalaman sebagaimana yang ditakrifkan oleh Lindbeck dalam bukunya The Nature of Doctrine: Religion and Theology in a Postliberal Age sebagai:
"a kind of cultural and/or linguistic framework or medium that shapes the entirety of life and thought… it is similar to an idiom that makes possible the description of realities, the formulation of beliefs, and the experiencing of inner attitudes, feelings, and sentiments.” (Lindbeck, 1984).
Bersandarkan takrifan ini, agama dirujuk kepada pandangan dunia seseorang serta bagaimana ia mempengaruhi pemikiran dan keseluruhan tindakannya.
Dari segi etimologi, perkataan religion boleh dikatakan berasal dari pelbagai tradisi bahasa Eropah: dalam bahasa Inggeris, ia disebut religioun, daripada perkataan Anglo-French religiun, atau perkataan Latin religion-, religio (yang membawa makna had atau penalti supernatural, atau pratik keagamaan (religious practice), atau juga dari kata religare yang bermaksud menahan (to restrain) atau mengikat (tie back) (http://www.m-w.com/dictionary/religion, 25 Jun 2007).
Terdapat banyak kamus yang cuba memberi takrifan kepada perkataan religion atau agama. Walau bagaimanapun, tiada satupun makna yang jelas meliputi satu set tradisi, praktik dan idea yang mewakili pelbagai agama secara komprehensif dan konsisten. Namun begitu, penelitian terhadap beberapa takrif yang diberikan oleh beberapa kamus yang terkenal menjelaskan takrif “religion” seperti berikut:
1.Britannica Concise Encyclopedia mentakrifkannya sebagai:
“Relation of human beings to God or the gods or to whatever they consider sacred or, in some cases, merely supernatural."
(http://concise.britannica.com/ebc/article-9376705/religion, 25 Jun 2007).
2. Merriam-Webster's Collegiate Dictionary pula mentakrifkannya sebagai:
“a personal set or institutionalized system of religious attitudes, beliefs, and practices; a cause, principle, or system of beliefs held to with ardor and faith."
(http://www.m-w.com/dictionary/religion, 25 Jun 2007).
3. The Concise Oxford Dictionary (Electronic) pula memberikan definisi berikut:
"The belief in and worship of a superhuman controlling power, especially of a personal God or gods."

Berdasarkan takrif-takrif di atas, dapat dikenalpasti bahawa antara pokok persoalan penting dalam perbincangan berkait dengan definisi agama ialah berkenaan kepercayaan terhadap apa yang diistilahkan sebagai “sacred”, “supernatural” atau “super-empirical”.Terma seperti “sacred” dan “supernatural” walau bagaimanapun menurut Hamilton, hanya wujud dalam konteks masyarakat Barat dan tidak selalunya digunapakai atau diterima dalam masyarakat lain kerana konotasinya yang diikat oleh lingkungan budaya (2001).
Takrif-takrif ini jelas mempunyai limitasi budaya menurut pandangan dunia Barat. Hal ini lebih nyata jika dilihat kepada istilah “religion” berdasarkan pandangan tokoh sosiologis utama, Durkheim yang mentakrifkan “religion” sebagai:
“ a unified system of beliefs and practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and forbidden – beliefs and practices which unite into one single moral community called a Church all those adhere to them (Durkheim, 1915).
Pentakrifan Durkheim yang mewakili suatu latar pengalaman keagamaan yang bersifat ethnocentric berdasarkan tradisi Kristian ini cuba disanggah oleh Spiro yang mendefinisikan “religion” sebagai “…an institution consisting of culturally patterned interaction with culturally postulated superhuman beings” (dipetik dalam Hamilton 2001). Walau bagaimanapun, Hamilton (2001) menganggap takrif ini juga mempunyai limitasi tersendiri kerana terdapat sistem keagamaan yang yang tidak memberi perhatian berat kepada “beings” seperti Theravada Buddhisme.
Horton dalam hal ini mendefinisikan “religion” dalam konteks tindakan bersifat agama (religious action), iaitu:
“…in every situation commonly labelled religious we are dealing with action directed towards objects which are believed to respond in terms of certain categories – in our own culture those of purpose, intelligence and emotion – which are also the distinctive categories for the description of human action. ..The relationships between human beings and religious objects can be further defined as governed by certain ideas of patterning such as categorise relationships among human beings. …In short, religion can be looked upon as an extension of the field of people’s social relationships beyond the confines of purely human society. And for completeness’ sake, we should add the rider that this extension must be one in which human beings involved see themselves in a dependent position ‘vis-à-vis’ their non-human alters – a qualification necessary to exclude pets from the pantheon of gods.” (dipetik dalam Hamilton, 2001).
Selari dengan pandangan Horton tersebut – iaitu religion dilihat dari perspektif religious action - Glock dan Stark dalam kaji selidik mereka terhadap dimensi keberagamaan menjelaskan penilaian terhadap seseorang individu beragama berdasarkan lima dimensi utama atau "core dimensions", iaitu :-
1. Pegangan kepada pandangan tertentu serta menerima kepercayaan tertentu. Ini dinamakan sebagai “akibat kepercayaan” atau "the belief consequence".
2. Demonstrasi kepercayaan melalui amalan praktikal serta komitmen yang kebiasaannya menerusi ibadat ritual, yang dinamakan sebagai “akibat praktik” atau "the practise consequence".
3. Dimensi ilmu atau "the knowledge dimension", iaitu informasi dan ilmu berkenaan dengan kepercayaan.
4. Pengaruh kepercayaan terhadap tingkah laku atau perlakuan, iaitu “dimensi akibat” atau "the consequence dimension".
5. Harapan atau ekspektasi terhadap sesuatu pengalaman, atau solat/doa, iaitulah ekspektasi/harapan pengalaman atau "the expectation experience". (http://www.thearda.com/Archive/Files/Descriptions/DRC88.asp, 15 Oktober 2008).
Pendekatan terakhir ini justeru lebih memfokus kepada tabiat atau perlakuan agama, atau kesan atau impak praktis agama berbanding nilai-nilai teoretikal berkenaan agama seperti konsep ketuhanan dan sebagainya. Secara ringkasnya, jelas daripada perbincangan di atas bahawa pencarian makna serta takrif “religion” dalam perspektif Barat mengalami proses evolusi akliah yang sarat dengan konflik dalaman yang berpanjangan yang didasari oleh pertentangan antara akal (reason) dan agama (religion) yang ditanggapi secara dikotomis. Pendekatan fenomenologi walau bagaimanapun cuba menghindari perangkap dikotomi ini dengan melihat agama daripada perspektif yang bersifat neutral dan berdasarkan pandangan penganut sesuatu agama menerusi “the conscious experience of religious activities.”

Teori Fenomenologi
Secara umumnya, fenomenologi difahami sebagai (1) satu bidang atau disiplin dalam falsafah (2) sebagai satu gerakan dalam sejarah falsafah. Dari segi etimologi, perkataan fenomenologi berasal dari bahasa Greek phainomenon iaitu bermaksud appearance. Menurut Britannica Concise Encyclopedia (Electronic), fenomenologi merupakan satu daripada cabang disiplin ilmu falsafah yang berasal dari pemikiran Edmund Husserl. Husserl telah membina metode fenomenologi bagi maksud membolehkan “satu penjelasan deskriptif tentang struktur-struktur penting bagi sesuatu yang diberikan secara langsung”. Metode ini menekankan pengalaman langsung atau “the immediacy of experience”.
Dalam Dictionary of Theories (2002), fenomenologi diistilahkan maknanya sebagai satu deskripsi atau kajian tentang penampakan (the description or study of appearances). Justeru apa-apa kajian mendalam tentang sesuatu fenomena boleh disebut sebagai fenomenologi. Menurut Husserl, fenomena adalah objek-objek pengalaman (objects of experience) atau sikap-sikap (attitudes) yang ditanggapinya sebagai zat (essence), dengan tujuan memberikan analisis bersifat a priori (deduksi bersifat teoretikal, bukannya empirikal) serta mengelak daripada psikologisme yang berasaskan sains empirikal.
Dengan kata lain, fenomenologi bagi Husserl adalah satu metode kritik kepada objektiviti sains empirikal yang menekankan kepada pemerhatian (observation) dan perujian (experiment). Persoalan utama yang menjadi perbahasan ahli fenomenologi ialah tentang bagaimana minda menanggapi sesuatu dalam ketidakhadirannya (absence) secara yang bermakna. Persoalan ini menimbulkan isu representasi atau perwakilan yang melahirkan fungsi tanda (signs) dan simbol (symbols), serta isu antara intuisi (intuition) dengan niat (intention). Secara umumnya, pendekatan fenomenologi boleh dirumuskan sebagaimana rajah di bawah:

Anti-reductionistic

Descriptive

Bracketing

Agama dilihat sebagai satu yg unik, muncul dari pengalaman manusia . Pendekatan psikologi, sosiologi dan historis diguna sebagai alat utk memahami agama tetapi agama tidak seharusnya difahami menurut kerangka tersebut semata-mata. Dimensi agama yang unik cuba difahami dalam persekitaran keagamaannya.

Pendekatan asas dalam phenomenological study ialah pemerhatian yg teliti dan deskripsi yang detail terhadap fenomena sama ada mitos, simbol, upacara peribadatan, doktrin dan lain-lain.

Pengkaji harus mengetepikan apa sahaja konsep atau pandangan keagamaan yg telah sedia ada dalam dirinya. Hal ini supaya penelitian pengkaji tidak bias tetapi cuba memahami fenomena keagamaan yang dikajinya sebagaimana yang difahami oleh penganut agama itu sendiri.


Fenomenologi Husserl
Edmund Husserl dalam bukunya Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology (1931) mendefinisikan fenomenologi sebagai “a descriptive analysis of the essence of pure consciousness.” Husserl mendefinisikan fenomenologi asli atau transendental sebagai sains a priori1 atau eidectic science, yakni sains tentang Wujud yang bersifat asli (a science of essential Being). Beliau membezakan di antara fenomenologi asli dan psikologi empirikal dengan mengatakan bahawa fenomenologi adalah “a science of essences”, manakala psikologi ialah “a science of the facts of experience”. Beliau juga mengkritik teori psikoanalisis untuk menyelesaikan permasalahan falsafah kerana menganggap hanya sains a priori dapat mendefinisikan nature asas sesuatu Wujud.
Husserl membezakan antara fenomenologi sebagai sains tentang kesedaran yang asli (a science of pure consciousness) dengan psikologi sebagai sains tentang fakta-fakta empirikal (a science of empirical facts). Bagi Husserl, sisi kesedaran yang asli adalah berbeza dengan sisi pengalaman sebenar. Beliau menjelaskan bahawa fenomenologi adalah teori tentang fenomena yang asli, dan bukannya teori tentang pengalaman sebenar atau fakta-fakta sebenar atau reality (1970a).
Menurut Husserl, Wujud yang asas mestilah dibezakan daripada kewujudan yang sebenar, sepertimana Ego yang asli mesti dibezakan daripada Ego yang bersifat psikologi. Sesuatu intipati atau asli itu bukanlah sesuatu yang sebenar (real), sedangkan fakta-fakta adalah bersifat sebenar (real). Justeru, kaedah pengurangan fenomenologi atau phenomenological reduction ialah suatu proses membawa pengetahuan tentang sesuatu yang sebenar (real) kepada sesuatu yang bukan sebenar (non-real) iaitu pure consciousness. Dalam kata lain, proses pengurangan fenomenologi atau phenomenological reduction ini berusaha menapis fakta-fakta tentang sesuatu yang dianggap sebenar (real) kepada hanya yang bersifat kesedaran yang asli iaitu intipati kepada kesedaran yang memaknakan sesuatu yang Wujud (1970a).
Menurut Husserl lagi, fakta atau realiti adalah data objektif bagi intuisi yang bersifat empirikal, sementara intipati (essences) adalah data objektif bagi intuisi yang bersifat esensial. Justeru pengurangan fenomenologi juga dianggap oleh Husserl sebagai satu proses mendefinisikan intipati yang asli bagi suatu fenomena psikologi. Ia adalah proses di mana subjektiviti yang bersifat empirikal digantung atau ditangguh, supaya kesedaran yang asli boleh didefinisikan dalam keaslian dan kemutlakan yang Wujud. Ia dicapai melalui kaedah atau metode "bracketing" iaitu suatu kaedah yang memisahkan sebahagian daripada data-data empirikal daripada sebarang penilaian (assessment) atau pertimbangan (judgment). Proses “bracketing" terhadap data-data empirikal ini seterusnya menyebabkan apa yang tinggal hanyalah kesedaran asli (pure consciousness), fenomena asli (pure phenomena), dan Ego yang asli (pure Ego) sebagai sisa kepada proses pengurangan fenomenologi tersebut (1970b).
Pengurangan fenomenologi juga merupakan satu kaedah yang memisahkan intuisi-intuisi empirikal daripada persoalan falsafah dengan menahan daripada melakukan penilaian terhadapnya. Husserl menggunakan istilah Greek, epoche yang bermaksud "a cessation" bagi merujuk kepada penilaian tertangguh terhadap nature sebenar sesuatu realiti. Hasil daripada proses ini ialah kepercayaan yang tidak lagi disalut oleh sebarang prejudis. Dalam kata lain, ia menghasilkan a neutralization of belief (1970b). Dengan neutralisasi kepercayaan ini mencetuskan apresiasi atau penghargaan kepada sebarang pandangan atau budaya dengan menerima ia seadanya (as it is) atau sebagaimana yang dinyatakan atau diberitakan oleh orang yang mengalaminya (the first person point of view). Pendekatan fenomenologi Husserl dengan itu menolak generalisasi manusia dan budayanya dengan mengiktiraf keunikan setiap individu dan masyarakat.
Husserl dalam hal ini menekankan kepada elemen kesedaran atau consciousness yang menjadi asas kajian fenomenologi. Kesedaran menurut beliau, mestilah berasaskan kepada niat (intention) yang ditujukan kepada sesuatu objek. Beliau menegaskan bahawa niat atau intentionality dalam hal ini merupakan a property of directedness toward an object. Walaupun kesedaran atau consciousness ini mungkin mempunyai fasa niat dan juga fasa tiada niat, beliau menegaskan bahawa dimensi niat itulah yang member makna yang objektif bagi kesedaran (1970a). Ertinya, sama ada seseorang itu dianggap ‘sedar’ (conscious) atau tidak tentang sesuatu yang Wujud atau wujudnya sendiri, adalah bergantung kepada wujudnya dimensi atau unsur niat iaitu tujuan yang dihalakannya, sama ada dalam bentuk objek, mahupun dalam bentuk tindakan.
Bagi Husserl, elemen kesedaran yang menjadi tema utama pemikiran beliau, adalah bersumber daripada Ego yang asli atau the pure Ego. Prinsip utama dalam Ego yang asli ini pula ialah the cogito ("I think") iaitu ‘Saya fikir’. Ego yang asli atau the pure Ego inilah yang melaksanakan tindakan-tindakan kesedaran (acts of consciousness atau cogitations).. Kesedaran itu sendiri menurut Husserl, adalah suatu Wujud yang mutlak (absolute Being), manakala dunia ini hanya semata-mata Wujud yang bersifat fenomena (phenomenal Being), iaitu penampakan semata-mata. Jelas di sini Husserl menghubungkan elemen kesedaran yang menjadi bukti kewujudan (beingness) dengan elemen ‘fikir’ (think/cogito) yang mengalir dari satu sumber yang sama iaitu Ego yang asli (the pure Ego). Justeru kesedaran tentang kewujudan boleh dikatakan terhasil apabila Ego yang asli (the pure Ego) itu melaksanakan proses berfikir (1970b).
Husserl dalam penjelasan beliau ini menekankan bahawa pendekatan fenomenologi amat prihatin terhadap intipati bagi apa yang kekal dalam kesedaran dan juga menghuraikan intipati yang kekal tersebut. Adalah jelas bahawa intipati bagi sesuatu bukanlah reprentasi mental (mental representations). Intipati bagi sesuatu merupakan tujuan utama kajian fenomenologi, manakala apa yang dihasilkan oleh minda atau mental merupakan tujuan utama kajian psikologi. Justeru perbezaannya berada pada titik analisis deskriptif fenomenologi terhadap Being as Consciousness, sementara psikologi pula terhadap Being as Reality (1970b).

Fenomenologi Heidegger
Fenomenologi Martin Heidegger tidak dapat dipisahkan daripada pengaruh Husserl. Heidegger mulai berminat dengan tulisan Husserl semasa beliau masih belajar di Universiti Freiburg melalui karya Husserl yang berjudul Logical Investigations. Kemudiannya apabila Husserl menerima tawaran menduduki kerusi akademik di Freiburg, Heidegger telah menjadi pembantunya. Walaupun terpengaruh dengan fenomenologi Husserl, Heidegger membina fenomenologinya yang tersendiri dan unik, bahkan mempengaruhi pemikiran ramai tokoh falsafah selepasnya termasuk Sartre (existensialisme), Gadamer, Ricouer (hermeneutik), Derrida (pascamodenisme) dan Tillich (teologi).
Hasil karya penting Heidegger yang berjudul Being and Time merupakan kritikannya terhadap fenomenologi Husserl. Dalam karya ini, Heidegger memberi perhatian terhadap kepelbagaian mode atau cara di mana manusia, wujud dan berhadapan dengan sesuatu atau benda. Beliau menganalisa struktur yang terbentuk atau terbina dalam sesuatu/benda (the structures constitutive of things) bukan hanya dari aspek sebagaimana ia dihadapi secara yang terpisah (detached), ataupun sikap teoritikal tentang kesedaran (consciousness), tetapi juga dalam kehidupan seharian sebagai “alat” (Zuhandene) atau dalam perasaan (mood) tertentu, terutamanya ketika risau (Angst). Beliau juga menjelaskan struktur-struktur yang terbina khusus dalam manusia yang dinamakannya sebagai "Dasein." Bagi Heidegger, kesedaran asli atau pure consciousness bukanlah asal-usul yang membina kewujudan atau kejadian manusia, tetapi Dasein (2002). Justeru titik mula falsafah beliau bukanlah kesedaran sepertimana Husserl, tetapi tentang Dasein dalam kewujudannya.
Dalam bahasa harian Jerman, perkataan “Dasein" bermaksud kehidupan atau kewujudan. Walau bagaimanapun, Heidegger telah memisahkan perkataan ini kepada dua komponen, iaitu "Da" dan "Sein," dan memberikannya makna khas yang berkait dengan jawapan beliau terhadap persoalan tentang siapakah dia manusia (who the human being is). Beliau mengaitkan persoalan ini dengan persoalan kewujudan. Dasein, bagi Heidegger, adalah kewujudan yang merupakan kita sendiri, yang membezakan kita manusia dengan semua kejadian yang lain berdasarkan hakikat bahawa manusia menjadikan kewujudannya sebagai satu isu (2002).
Justeru Dasein adalah kewujudan di dalam mana-mana kewujudan yang dibentuknya. Selanjutnya, persoalan kewujudan Dasein telah membawanya kepada permasalahan kewujudan secara umum. Permasalahan universal kewujudan atau the universal problem of being ini menurut Heidegger, adalah merujuk kepada apa yang membentuk dan yang dibentuk (2002). Hakikatnya, permasalahan kewujudan yang dibincangkan oleh Heidegger ini ialah persoalan tentang makna tentang kewujudan (the question of the meaning of being).
Makna fenomenologi menurut Heidegger justeru berbeza dengan Husserl. Heidegger melihat fenomenologi secara lebih luas dan mendasar kepada etimologinya berbanding Husserl. Husserl menggunakan istilah fenomenologi kepada seluruh falsafah. Heidegger pula menjelaskannya sebagai satu metode atau kaedah. Beliau menganggap falsafah sebagai "ontologi" iaitu kajian tentang kewujudan yang tidak boleh menerimapakai metode daripada mana-mana sains aktual. Justeru Heidegger menanggapi fenomenologi sebagai metode untuk memahami ontologi. Kewujudan hendaklah ditanggapi melalui kaedah-kaedah fenomenologi. Walau bagaimanapun, kewujudan (being) sentiasa merupakan kewujudan tentang kewujudan (being is always the being of a being) yang hanya dapat dicapai secara tidak langsung menerusi beberapa entiti yang wujud. Justeru, pendekatan "phenomenological reduction" adalah perlu.Untuk memahami kewujudan, seseorang perlu menujukan dirinya kepada suatu entiti mengikut cara bagaimana kewujudan itu dimanifestasikan. Entiti tersebut yang disebut oleh Heidegger sebagai Dasein. Walaupun Heidegger mengguna istilah phenomenological reduction, makna yang diberikan beliau adalah berbeza dengan apa yang dimaksudkan oleh Husserl (http://www.iep.utm.edu/h/heidegge.htm, 15 Oktober 2008).
Heidegger mendakwa bahawa manusia sebagai Da-sein boleh difahami pada konsep "Da" yang menunjukkan keperluan manusia untuk memanifestasikan kewujudan dirinya. Hanya apabila manusia lupa atau berpaling daripada asal kewujudan dirinya yang menjadikan kemanusiaannya tertindas. Menurut Heidegger, situasi sebeginilah yang dialami oleh manusia masa kini apabila kewujudan diri mereka diterima bukan melalui pertanyaan terhadap hakikat kewujudan yang sebenar tetapi diambil daripada jawapan-jawapan yang tersedia dalam pelbagai ideologi, media massa dan teknologi (2002).
Justeru tujuan Heidegger yang sebenar ialah untuk membawa manusia moden kembali kepada persoalan kewujudan diri mereka sebagai manusia. Tradisi falsafah Barat yang mendefinisikan manusia sebagai haiwan rasional (animal rationale) lebih menekankan fungsi akal sebagai nilai mutlak yang merubah seluruh aspek kehidupan manusia khususnya melalui pendidikan. Manusia hari ini memerlukan bukan semata-mata akal yang bersifat kalkulatif, tetapi apa yang lebih diperlukan ialah sifat keterbukaan dan refleksi terhadap apa yang paling dekat pada kita sebagai manusia iaitu kewujudan kita sendiri.

Rumusan
Fenomenologi Husserl bermakna sains tentang kesedaran (the science of consciousness) dan objeknya yang menjadi tunjang kepada pembangunan konsep ini sebagai intipati, transenden dan konstruktif dalam seluruh kerja intelektualnya. Beliau melihat subjek ini sebagai asas yang mutlak bagi falsafah. Prosedur “bracketing” adalah penting bagi metode pengurangan fenomenologi atau "phenomenological reduction" yang dicadangkan oleh Husserl. Ia adalah suatu prosedur metode yang membawa kita daripada sikap natural (the natural attitude) terhadap urusan kehidupan dunia kepada sikap fenomenologi (the phenomenological attitude) di mana analisis dan deskripsi terpisah tentang kandungan kesedaran menjadi mungkin. Metode phenomenological reduction ini membantu kita membebaskan diri daripada sikap prejudis supaya sesuatu boleh didikaji dan difahami sebagaimana ia tanpa sebarang persepsi atau andaian awal. Matlamat kepada fenomenologi bagi Husserl ialah suatu analisis deskriptif dan terpisah tentang apa yang ada dalam kesedaran manusia (human consciousness). Lebih penting daripada itu ialah usaha Husserl melalui kajian fenomenologi beliau ini untuk mengembalikan sains Barat setelah mengalami krisis serta konflik dalaman yang hebat selepas era Pencerahan (Enlightenment).
Sebaliknya Heidegger tidak mengasaskan falsafahnya kepada kesedaran (consciousness) sepertimana Husserl. Bagi Heidegger, sikap fenomenologi atau teoritikal tentang kesedaran hanya merupakan satu cara atau mode yang mungkin kepada sesuatu yang lebih mendasar dan fundamental, iaitu wujud Dasein. Walaupun beliau bersetuju dengan Husserl bahawa bentuk transendental dunia tidak boleh dijelaskan oleh penghuraian secara naturalistik atau fizikal, beliau berpandangan bahawa analisis deskriptif terhadap kesedaran seperti yang digagaskan oleh Husserl tidak dapat membawa kepada tujuan akhir iaitu untuk mengembalikan manusia Barat kepada persoalan hakikat dirinya, sebaliknya ia boleh dicapai melalui analisis tentang Dasein. Justeru fenomenologi bagi beliau bukanlah suatu analisis yang deskriptif dan terpisah tentang kesedaran. Sebaliknya ia adalah satu metode untuk mencapai kewujudan (being).
Justeru boleh disimpulkan bahawa fenomenologi Husserl lebih cenderung kepada ciri saintifik dalam pengkajiannya tentang kesedaran manusia (human consciousness) kerana kandungan kesedaran dianalisa secara deskriptif, manakala pendekatan Heidegger lebih menjurus kepada perbincangan metafizik, walaupun secara tidak langsung (Elliot, 2005). Walau bagaimanapun, apa yang jelas bagi kita apabila menilai kegunaan pandangan kedua-dua tokoh fenomenologis ini terhadap disiplin sosiologi agama, terutamanya daripada aspek pendekatan terhadap pengkajian agama dalam konteks kepelbagaian masyarakat moden serta segala kompleksiti sistem dan hubungannya dengan subsistem-subsistem dalam masyarakat, mahupun sebagai satu komponen dalam masyarakat global hari ini, kajian serta pendekatan fenomenologi mereka memberi kemungkinan penghargaan terhadap unsur kepelbagaian tanpa generalisasi umum.
Implikasi teori dan metode mereka ialah nilai subjektiviti dan pluralisme terhadap masyarakat yang dikaji. Dimensi keterbukaan ini memungkinkan kepelbagaian pandangan dan apresiasi kepada nilai-nilai budaya lain, justeru mengurangkan sifat ethnocentric yang banyak terdapat kajian sosiologi Barat. Walau bagaimanapun, nilai keterbukaan tanpa kriteria yang jelas tentang kebenaran menyukarkan usaha pencarian dan pengembalian jiwa manusia Barat kepada persoalan makna kehidupan yang hakiki. Sekalipun fenomenologi berusaha mencari titik kewujudan manusia, namun idea yang salah tentang konsep manusia merupakan punca sebenar kepada krisis dan konflik yang melanda Barat sehingga hari ini. Persoalan makna tentang kehidupan bukanlah tugas falsafah untuk menjawabnya, bahkan tugas agama. Kerana walaupun falsafah berminat dengan makna, falsafah tidak mampu memberi makna yang hakiki tanpa panduan daripada agama.

Pendidikan Agama di Sekolah dan Upaya Pembinaan Mental Remaja

Pendidikan dimanapun dan kapanpun masih dipercaya orang sebagai media ampuh untuk membentuk kepribadian anak ke arah kedewasaan. Pendidikan agama adalah unsur terpenting dalam pendidikan moral dan pembinaan mental. Pendidikan moral yang paling baik sebenarnya terdapat dalam agama karena nilai-nilai moral yang dapat dipatuhi dengan kesadaran sendiri dan penghayatan tinggi tanpa ada unsur paksaan dari luar, datangnya dari keyakinan beragama. Karenanya keyakinan itu harus dipupuk dan ditanamkan sedari kecil sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan dari kepribadian anak sampai ia dewasa. Melihat dari sini, pendidikan agama di sekolah mendapat beban dan tanggung jawab moral yang tidak sedikit apalagi jika dikaitkan dengan upaya pembinaan mental remaja. Usia remaja ditandai dengan gejolak kejiwaan yang berimbas pada perkembangan mental dan pemikiran, emosi, kesadaran sosial, pertumbuhan moral, sikap dan kecenderungan serta pada akhirnya turut mewarnai sikap keberagamaan yang dianut (pola ibadah).

Pada usia remaja, ditinjau dari aspek ideas and mental growth, kekritisan dalam merangkum pemikiran-pemikiran keagamaan mulai muncul, kekritisan yang dimaksud bisa berupa kejenuhan atau kebosanan dalam mengikuti uraian-uraian yang disampaikan guru Agama di sekolah apalagi jika metodologi pengajaran yang disampaikan cenderung monoton dan berbau indoktrinasi. Jadi mereka telah mulai menampilkan respon ketidak sukaan terhadap materi keagamaan yang dipaketkan di sekolah. Sebenarnya akar permasalahan yang timbul dari kekurang senangan remaja terhadap paket materi pelajaran keagamaan di sekolah terletak pada minimnya motivasi untuk mendalami agama secara lebih intens, yang lebih sederhana lagi ialah pelajaran agama yang mereka dapat di sekolah kurang memberikan aplikasi dan solusi praktis dalam keseharian mereka. Apalagi waktu mereka lebih banyak dihabiskan dengan nonton teve, jalan-jalan ke mall, ngeceng, pacaran dan hal-hal lain meski banyak juga remaja kita yang melakukan aktifitas positif seperti remaja mesjid, berwiraswasta atau ikut organisasi eskul sekolah serta mengikuti kursus-kursus keterampilan.

Jawaban dari permasalahan diatas adalah kembali pada sosok guru agama sebagai tauladan dan sumber konsentrasi remaja yang menjadi peserta didiknya. Mampukah ia menjadikan dirinya termasuk masalah materi serta metodologi yang dipergunakan sebagai referensi utama bagi peserta didiknya yang seluruhnya remaja itu dalam mengembangkan sikap keberagamaan yang tidak sekedar merasa memiliki agama (having religion) melainkan sampai kepada pemahaman agama sebagai comprehensive commitment dan driving integrating motive, yang mengatur seluruh kehidupan seseorang dan merupakan kebutuhan primer yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sehingga nantinya remaja-remaja tersebut merasakan ibadah sebagai perwujudan sikap keberagamaan intrinsik tersebut sama pentingnya atau malah lebih penting dibanding nonton teve, jalan-jalan, hura-hura dan lain sebagainya.

Satu hal penting lainnya yang tidak boleh diabaikan oleh para guru Agama di sekolah ialah materi pelajaran agama yang disampaikan di sekolah hendaknya selalu diorientasikan pada kepentingan remaja, seorang guru Agama harus bisa menanamkan keyakinan bahwa apa-apa yang ia sampaikan bukan demi kepentingan sekolah (kurikulum) atau kepentingan guru Agama melainkan demi kepentingan remaja itu sendiri. Karenanya pemahaman akan kondisi objektif kejiwaan remaja mutlak diperlukan oleh para guru Agama di sekolah. Seorang guru Agama harus senantiasa dekat dan akrab dengan permasalahan remaja yang menjadi peserta didiknya agar mampu menyelami sisi kejiwaan mereka. Dan materi pelajaran agamapun harus terkesan akrab dan kemunikatif, sehingga otomatis sistem pengajaran yang cenderung monolog (satu arah), indoktriner, terkesan sangar (karena hanya membicarakan halal haram) harus dihindari, untuk kemudian diganti dengan sistem pengajaran yang lebih menitik beratkan pada penghayatan dan kesadaran dari dalam diri. Hal ini mungkin saja dilakukan baik dengan mengajak peserta didik bersama-sama mengadakan ritual peribadatan (dalam rangka penghayatan makna ibadah) atau mengajak peserta didik terjun langsung ke dalam kehidupan masyarakat kecil sehingga mereka bisa mengamati langsung dan turut merasakan penderitaan yang dialami masyarakat marginal tersebut (sebagai upaya menanamkan rasa solidaritas sosial). Jadi intinya mereka tidak hanya mendengar atau mengetahui saja melainkan turut dilibatkan dalam permasalahan yang terdapat dalam materi pengajaran agama di sekolah.

Namun diatas semua itu yang paling penting adalah keterpaduan unsur keluarga, lingkungan masyarakat, kebijakan pemerintah disamping sekolah dalam rangka turut menanamkan semangat beragama yang ideal (intrinsik) di kalangan para remaja. Karena tanpa kerjasama terkait antar usur-unsur tersebut mustahil akan tercipta generasi muda (remaja) yang berkualitas.

Kebijakan Pendidikan Perspektif Politik

Dunia pendidikan tidak mungkin lepas dari politik dan kekuasaan. Bahkan, politik dan kekuasaan di suatu negara memegang kunci keberhasilan pendidikan.
Menurut Paulo Freire masalah pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan pengembangan pendidikan. Maka dalam konteks demokratisasi dan desentralisasi di Indonesia peran politik (eksekutif dan legislatif) begitu besar. Sehingga, ranah politik dan kekuasaan mampu menjadi wahana bagi espektasi publik akan sebuah sistem pendidikan yang mencerahkan.

Paulo Freire yang oleh banyak kalangan sering disebut sebagai salah satu tokoh liberalisme pendidikan, telah mengarang buku yang diberi judul The Politic of Education. Dalam buku ini, meski tidak diuraikan di dalam chapter yang tersendiri, secara implisit terdeskripsi betapa pentingnya politik pendidikan untuk menentukan kinerja pendidikan suatu negara.

Dalam buku tersebut dilukiskan persoalan menyangkut pemberantasan buta huruf, pemeranan guru, reformasi agraria, pemeranan pekerja sosial, pemberantasan buta politik, humanisasi pendidikan, peran gereja, dan sebagainya yang tidak terlepas dari politik pendidikan.

Negara yang politik pendidikannya buruk, kinerja pendidikannya pun juga buruk. Sebaliknya, negara yang politik pendidikannya bagus, kinerja pendidikannya pun juga bagus.

Pertanyaannya kini, bagaimanakah politik pendidikan di negara kita? Inilah pertanyaan yang cukup menggelitik untuk diklarifikasi. Kalau kita enggan menyatakan politik pendidikan kita buruk, setidak-tidaknya kita dapat menyatakan bahwa politik pendidikan di negara kita belum sepenuhnya positif. Indikasinya tak sulit; komitmen yang rendah, besarnya anggaran yang tidak memadai, manajemen pendidikan yang lemah, dan sebagainya.



Realitas Politik Pendidikan

Untuk melihat realitas politik pendidikan di indonesia, kita bisa mengukurnya dari kebijakan dan praktik pendidikan yang ada.
Pemerintah telah menetapkan Renstra pendidikan tahun 2005 – 2009 dengan tiga sasaran pembangunan pendidikan nasional yang akan dicapai, yaitu meningkatnya perluasan dan pemerataan pendidikan, meningkatnya mutu dan relevansi pendidikan; dan meningkatnya tata kepemerintahan (governance), akuntabilitas, dan pencitraan publik.

Karena itu, kebijakan pendidikan nasional harus mampu menghadirkan pemerataan pendidikan yang bermutu pada setiap sisinya. Dalam konteks outcome, pendidikan nasional harus mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan intelektual dan akhlak mulia secara seimbang.

Pembangunan pendidikan hendaknya dapat membangun manusia Indonesia seutuhnya sebagai subyek yang bermutu. Membangun manusia seutuhnya berarti mengembangkan seluruh potensi manusia melalui keseimbangan olah hati, olah pikir, olah rasa, olah raga, dan olah jiwa yang dilakukan seiring dengan pembangunan peradaban bangsa.
Pemerintah Indonesia memang telah terus-menerus memberikan perhatian yang besar pada pembangunan pendidikan dalam rangka mencapai tujuan negara, yaitu mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Yang pada akhirnya akan sangat mempengaruhi kesejahteraan umum dan pelaksanaan ketertiban dunia serta berkompetisi dalam percaturan global.
Namun dalam realitasnya, kita menyaksikan ternyata kebijakan dan praktik pendidikan kita masih jauh panggang dari api. Hal ini bisa kita lihat mulai dari kemampuan mengalokasikan anggaran pendidikan, pemerataan akses dan angka partisipasi pendidikan masyarakat, kualifikasi dan mutu profesionalisme serta kesejahteraan guru, dan daya saing lulusan pendidikan di dnia kerja,

Soal anggaran pendidikan, misalnya. Kita semua tentu paham bahwa sampai sekarang ini besarnya anggaran pendidikan di negara kita tidak saja terjelek di Asia Tenggara, di Asia atau di kawasan terbatas lainnya; namun anggaran pendidikan kita ternyata termasuk terjelek di dunia.

Kalau kita mengacu publikasi badan dunia UNDP, misalnya; anggaran pendidikan kita lebih jelek tidak saja dari negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, nggris, Jerman dan Jepang; tetapi juga dari negara berkembang lainnya, seperti Malaysia, Thailand, Brasilia, Meksiko, dan Nigeria; bahkan ternyata juga lebih jelek dari negara-negara terbelakang seperti Bangladesh, Burundi, Ethiopia, Nepal, Congo, dan sebagainya.
Angka rata-rata anggaran pendidikan di negara maju mencapai 5,1 persen terhadap GNP, di negara berkembang 3,8 persen dan negara terbelakang 3,5 persen. Sementara itu, negara kita hanya mengalokasi dana kurang dua persen terhadap GNP.

Kita semua menyadari, bahwa untuk memajukan dunia pendidikan nasional dan meningkatkan kualitas SDM bangsa sesuai dengan yang dicita-citakan, maka pemenuhan alokasi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD adalah menjadi keniscayaan. Komitmen serius untuk terus meningkatkan anggaran pendidikan adalah persoalan mendesak, jika kita betul-betul serius ingin mencerdaskan kehidupan bangsa ini melalui pendidikan yang bermutu. Karena, UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) telah mengamanahkan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya duapuluh persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Bahkan, UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 49 ayat (1) menegaskan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Selama ini Pemerintah bersama-sama dengan DPR-RI telah sepakat untuk menempatkan alokasi anggaran pendidikan menjadi prioritas tertinggi dalam penetapan APBN setiap tahun. Hal ini dapat dilihat pada kenaikan anggaran di Departemen Pendidikan dan Agama yang melonjak sangat tinggi pada tiga tahun terakhir. Upaya untuk memenuhi anggaran pendidikan hingga mencapai 20 persen dari dana APBN, diluar gaji dan pendidikan kedinasan, telah diupayakan untuk direalisasikan secara bertahap sampai tahun 2009. Rentang kenaikannya adalah dari yang semula hanya 6,6 % pada tahun 2004, menjadi 9,3 % untuk tahun 2005, kemudian menjadi 12 % untuk tahun 2006, lalu menjadi 14,7 % untuk tahun 2007, selanjutnya menjadi 17,4 % untuk tahun 2008, dan pada tahun 2009 menjadi 21,1 %. Anggaran fungsi pendidikan pada tahun 2006 memang telah mencapai Rp45,3 triliun, meningkat menjadi Rp52,4 triliun pada tahun 2007, dan direncanakan meningkat menjadi Rp61,4 triliun pada tahun 2008.

Anggaran pendidikan di APBN sebenarnya terus naik cukup signifikan sejak 2003. Fenomena penurunan persentase anggaran hanya sempat terjadi pada 2002. Ketika itu, anggaran pendidikan hanya mendapatkan porsi 3,76 persen. Padahal, pada 2001 sudah mencapai 4,55 persen.

Setelah itu, anggaran pendidikan terus bertambah menjadi 4,15 persen pada 2003; 6,6 persen (2004); 7 persen (2005); 9,1 persen (2006); dan 11,8 persen (2007). Dalam APBN 2007, pendidikan telah berhasil mendapatkan porsi terbesar. Begitu juga dalam RAPBN 2008.

Dalam masalah partisipasi pendidikan juga begitu halnya. Anak usia SD, SMP, SMA dan SMK di Jepang, Republik Korea, Taiwan, Singapura, hampir seluruhnya sudah masuk sekolah. Mereka tidak saja sekadar disuruh bersekolah tetapi juga diberi kesempatan dan fasilitas belajar secara memadai.

Bagaimana di Indonesia? Sampai saat ini masih banyak anak usia SD, SMP, SMA dan SMK yang tidak bersekolah. Secara definitif angkanya sangat tinggi, mencapai jutaan anak. Angka partisipasi pendidikan untuk tingkat SD, SMP, SMA dan SMK ternyata masih rendah. Ditambah lagi dengan tingginya angka putus sekolah dan buta aksara.
Terkait dengan rendahnya partisipasi pendidikan, data Depdiknas 2006 menunjukan bahwa Angka Partisipasi Murni (APM) SD/MI/SDLB/Paket A baru mencapai 94,73%, Angka Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs/SMPLB/Paket B sebesar 88, 68%, Angka Partisipasi Kasar (APK) SMA/MA/SMK/SMALB/ Paket C sebesar 55, 22%, dan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi baru mencapai 16,70%.
Adapun mengenai tingginya angka putus sekolah, tercatat bahwa angka putus sekolah tingkat SD sebanyak 2,97%, SMP 2,42%, SMA 3,06%, dan PT 5,9%. Sementara, tingginya jumlah warga negara yang masih buta huruf, tercatat bahwa dari total penduduk sebanyak 211.063.000, yang masih buta huruf pada usia 15 tahun ke atas, berjumlah 15.4 juta, dengan perbandingan laki-laki sebesar 5,8% dan perempuan sebesar 12,3%, dengan penyebaran di perkotaan sebesar 4,9% dan dipedesaan 12,2%.
Bahkan, berdasarkan data Departemen Pendidikan Nasional, hingga akhir tahun 2006, masih 12,88 juta penduduk Indonesia, tersebar di pedesaan dan perkotaan, yang buta aksara. Kondisi ini memang sedikit lebih baik dibandingkan kondisi di tahun 2005 yang sebanyak 14.595.088 orang. Walaupun demikian, masih belum mampu mengeluarkan Indonesia dari kelompok negara-negara (ada 34 negara) di dunia yang jumlah penduduk buta aksaranya di atas 10 juta orang.


Tingginya angka buta aksara inilah yang memberi andil menempatkan peringkat IPM Indonesia di posisi bawah. Dua per tiga dari total penilaian atas kriteria pendidikan didasarkan pada jumlah penduduk di atas 15 tahun yang buta aksara. Artinya, jika angka buta aksaranya masih tinggi maka nilai atas pendidikan jadi rendah.


Kesulitan dalam upaya pemberantasan buta aksara di Indonesia disebabkan oleh kenyataan bila masih sangat banyak anak yang putus sekolah bahkan tidak sekolah. Disamping itu, minimnya anggaran juga disinyalir menjadi penyebab terhambatnya memberantas buta aksara. Pada tahun 2006 lalu pemerintah hanya menanggarkan dana Rp. 175 miliar, padahal dibutuhkan sedikitnya Rp. 450 miliar untuk menekan angka buta aksara. Kondisi ini menunjukkan komitmen pemerintah pusat terhadap pendidikan yang masih sangat rendah seiring dengan kecilnya alokasi anggaran pendidikan dalam APBN 2007, yakni hanya 11,8 persen.


Memang pemerintah kita selalu menganjurkan agar mereka mau masuk sekolah. Sayangnya, anjuran itu kurang disertai dengan penyediaan fasilitas yang memadai, baik dari sisi jumlah maupun mutu.


Soal peran dan posisi guru juga demikian halnya. Pemerintah di negara-negara tetangga kita seperti Malaysia, Brunei, Taiwan, Jepang, Vietnam, Singapura, dan sebagainya, sangat menghargai peran guru dan memposisikannya sebagai pribadi yang sangat dihormati dan disegani. Sebab, mereka tidak segan-segan menggaji guru dengan nilai yang tinggi.


Guru di Vietnam digaji 600.000 dhong (Dolar Vietnam) pada setiap bulannya, sementara kebutuhan hidup setiap bulan untuk keluarga kecil hanya sekitar 200.000 dhong.
Guru di Jepang digaji sekitar 200.000 yen setiap bulannya, sementara kebutuhan hidup di setiap bulannya rata-rata hanya sekitar 100.000 s/d 150.000 yen untuk keluarga kecil. Pendeknya, dengan mengandalkan gajinya saja para guru di negara-negara tersebut bisa hidup layak dan menabung.


Bagaimana dengan guru di Indonesia? Apakah para guru kita dapat hidup dengan layak dan menabung dengan mengandalkan gajinya? Apakah peran dan posisi para guru terandalkan di masyarakat luas? Tentunya kita semua sangat paham dengan kondisi yang senyatanya.


Ironisnya, Indonesia termasuk salah satu negara yang jumlah guru berpendidikan primer setara S1 yang kurang dari 50 persen. Ini berarti dari jumlah 2,7 juta guru, sebanyak 1,35 juta orang guru belum mencapai kualifikasi S1. Laporan Diknas tahun 2006 menjelaskan bahwa guru yang memenuhi kualifikasi S1/D-IV, baru mencapai target 35,6% saja. Jadi, sebanyak 64,4% guru belum memenuhi kualifikasi S1/D-IV. Sedangkan, dosen yang memenuhi kualifikasi S2/S3 baru mencapai 54,02%. Jadi, masih ada sebanyak 45,08 % dosen yang belum memenuhi kualifikasi S2/S3. Pada tahun 2007, depdiknas baru berhasil meningkatkan kualifikasi guru hingga S1/D4 sebanyak 81.800 guru dan melakukan sertifikasi guru sebanyak 147.217 orang.


Padahal, dalam konteks pembangunan sektor pendidikan, guru merupakan pemegang peran yang amat sentral. Guru adalah jantungnya pendidikan. Tanpa denyut dan peran aktif guru, kebijakan pembaruan pendidikan secanggih apa pun tetap akan sia-sia. Sebagus apa pun dan semodern apa pun sebuah kurikulum dan perencanaan strategis pendidikan dirancang, jika tanpa guru yang berkualitas, maka tidak ada gunanya. Artinya, pendidikan yang baik dan unggul tetap akan tergantung pada kondisi mutu guru.
Hal ini ditegaskan UNESCO dalam laporan The International Commission on Education for Twenty-first Century, yakni "memperbaiki mutu pendidikan pertama-tama tergantung perbaikan perekrutan, pelatihan, status sosial, dan kondisi kerja para guru; mereka membutuhkan pengetahuan dan keterampilan, karakter personal, prospek profesional, dan motivasi yang tepat jika ingin memenuhi ekspektasi stakeholder pendidikan" (Jacques Delors 1996). Karena itu, upaya meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan para guru adalah suatu keniscayaan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 24/PUU-V/2007 yang memutuskan bahwa gaji guru masuk dalam anggaran pendidikan 20 persen, tidak boleh menjadi hambatan.


Pertanyaan yang muncul kemudian adalah seberapa serius pemerintah menghormati dan menjunjung tinggi profesi guru yang telah banyak berperan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta mencerdaskan kehidupan bangsa? Apa yang telah dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kinerja dan mutu profesi guru sebagai pendidik? Lalu bagaimana dengan kesejahteraan dan nasib masa depan guru ditengah tuntutan dan himpitan ekonomi saat ini?


Terlepas dari masih banyaknya persoalan kebangsaan yang menjerat kita, dalam konteks pembangunan sektor pendidikan, komitmen serius untuk terus meningkatkan mutu dan kesejahteraan guru merupakan suatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, jika kita mau betul-betul serius ingin membangun bangsa ini menjadi lebih beradab. Sebab, guru yang bermutu dan sejahtera memegang peran amat sentral dalam proses pendidikan.


Pemerintah telah mengalokasikan anggaran pada program peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan tahun 2008 untuk kegiatan sertifikasi pendidik bagi sekitar 200.000 orang guru, peningkatan kualifikasi akadeik guru ke S1/D4 sebanyak 270.000 guru, peningkatan kompetensi guru Dikdas sebanyak 3.049 guru, dan peningkatan kompetensi guru Dikmen sebanyak 12.828 guru.


Adanya komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan guru bisa dijadikan sebagai momentum pembangkit kembali idealisme guru dalam membangun peradaban bangsa Indonesia. Sehingga, masa depan Indonesia bisa lebih maju, berkualitas, berbudaya, cerdas, dan dapat bersaing dalam percaturan dunia. Namun, persoalannya adalah bagaimana agenda tersebut dapat diimplementasikan dan diwujudkan secara nyata, konkret, dan didasarkan atas kemauan politik dan keseriusan tekad pemerintah.
Kita masih tetap mengharapkan peran strategis pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan, harkat, martabat, dan wibawa guru. Pemerintah harus komitmen dalam melaksanakan UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sehingga pembangunan peradaban bangsa melalui sektor pendidikan dapat berjalan sesuai dengan harapan dan cita-cita kemerdekaan bangsa ini. Bangsa yang bermartabat adalah bangsa yang mau memuliakan dan mensejahterakan guru.


Keadaan tersebut memberi gambaran mengenai politik pendidikan di Indonesia yang masih jauh dari kata-kata surga dan menjanjikan. Politik pendidikan kita belum mampu memberikan harapan konkret atas kemajuan bangsa ini di masa depan.


Pendidikan di negara kita masih berada (diletakkan) di ring marginal sehingga politik pendidikan kita sangat rentan terhadap ekspansi gemerlapnya politik lain yang lebih dominan; katakanlah dengan politik ekonomi, politik kebudayaan, politik keamanan, dan yang lebih khusus politik kekuasaan.

Komitmen Politik untuk Pendidikan

Tidak bisa dibantah bahwa politik pendidikan di Indonesia belum sepenuhnya positif dan solid, bahkan ada yang menyatakan "runyam". Masalahnya sekarang ialah bagaimana upaya yang harus kita lakukan untuk membangun politik pendidikan yang solid dan menjanjikan itu.

Banyak cara dapat dilakukan untuk membangun politik pendidikan di suatu negara; namun keseluruhan cara itu umumnya berawal dari komitmen para penentu politik pendidikan itu sendiri, yang dalam hal ini antara lain ialah para elite politik, pejabat pemerintah serta para pengambil kebijakan negara.


Mereka semua harus diketuk hatinya supaya memiliki komitmen yang memadai sehingga dapat bersikap "sadar didik" (sense of education). Artinya, menyadari pentingnya pendidikan untuk membangun manusia dan bangsanya. Tanpa pendidikan (yang baik) tidaklah mungkin suatu bangsa dapat berkembang secara konstruktif dinamis.

Komitmen seperti itulah yang belum dimiliki oleh kebanyakan elite politik, pejabat pemerintah, serta para pengambil kebijakan pemerintahan lainnya di negara kita pada umumnya. Para "petinggi" negara kita sampai hari ini masih lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat jangka pendek daripada jangka panjang.

Mereka umumnya lebih senang membuat keputusan-keputusan politik untuk kepentingan hari ini daripada kepentingan hari esok. Mereka tampaknya lebih asyik bercengkerama dengan kepastian sekelompok orang yang ada sekarang daripada nasib bangsa seperempat atau setengah abad yang akan datang.

Mereka harus disadarkan bahwa nasib bangsa kita sepuluh, dua puluh, dan tiga puluh tahun lagi sangat ditentukan bagaimana kita mengelola pendidikan hari ini. Hal itu berarti, kalau kita membuat kekeliruan dalam mengelola pendidikan di hari ini maka akibatnya akan dirasakan oleh anak cucu kita di masa yang akan datang.

Di samping itu, dari kalangan pendidik juga harus ada kesadaran untuk bisa menyelami dunia politik. Maksudnya, masyarakat pendidikan harus aktif mempengaruhi para pengambil keputusan di bidang pendidikan. Dengan begitu, kaum pendidik tidak lagi terkungkung dalam dunianya, melainkan memiliki ruang gerak yang lebih leluasa dan signifikan. Jangan sampai ada apriori berlebihan yang menganggap politik itu selalu bermuka dua dan berkubang kemunafikan, sehingga dengan mempolitikkan pendidikan berarti melakukan perbuatan tercela.

Paling tidak, kaum pendidik harus berani memberikan pencerahan kepada para politisi bahwasanya pendidikan itu bersifat antisipatoris dan prepatoris, yaitu selalu mengacu ke masa depan dan selalu mempersiapkan generasi muda untuk menghadapi kehidupan mendatang. Kalau kemudian ada kesan bahwa pendidikan tak dapat berbuat apa-apa saat ini, maka asumsi tersebut harus dirubah. Ke depan, pendidikan harus punya andil yang lebih besar dalam membentuk tata kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan kemajuan peradaban bangsa.

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Bahkan, dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas ditegaskan bahwa, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dengan demikian, jelaslah bahwa pendidikan bisa dijadikan sebagai sarana membangun kehidupan sosial politik dan peradaban bangsa yang unggul. Karena, manusia-manusia yang lahir dari rahim pendidikan adalah manusia-manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, berimanan, berakhlak mulia, memiliki kompetensi dan profesionalitas serta sebagai warga negara yang bertanggung jawab.
Tentu saja, ada prinsip-prinsip yang diterapkan dalam penyelenggaraan pendidikan agar berfungsi untuk mendorong memantapkan kehidupan sosial politik dan peradaban bangsa yang unggul tersebut, sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 4, yaitu:
(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.
(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
Keberanian kaum pendidik meluruskan arah pemikiran politisi tentang pendidikan sudah barang tentu merupakan terobosan besar, yang pada saatnya nanti diharapkan akan mampu melahirkan suatu budaya politik baru, budaya politik yang akan mendorong pelaku politik kita bertindak jujur dan cerdas, adil dan anti korupsi, atau paling tidak bersedia meredusir unsur-unsur hedonistis dan mengoptimalkan watak humanistik-patriotik.

Komitmen dan kesadaran seperti itulah yang harus kita tumbuhkembangkan secara bersama untuk membangun politik pendidikan yang solid dan menjanjikan. Tanpa adanya politik pendidikan yang solid kita tidak akan mampu menjadi bangsa yang besar.

Politik Pendidikan di Indonesia

Bidang pendidikan tidak dapat terlepas dari sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik menentukan arah pengembangan pendidikan. Namun apa jadinya bila pendidikan banyak terkontaminasi politik? Tentu saja tergantung bagaimana para pelaku politik itu menyikapi pendidikan. Apakah mereka benar-benar menginginkan negara ini maju dengan memiliki sumber daya manusia yang cerdas, mandiri, kreatif, serta penuh inisiatif? Atau justru penuh pretensi yang muaranya adalah pada vested interest, pementingan diri sendiri dan kelompok? Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat ditemukan bila mencermati politik pendidikan yang berlangsung dalam kurun waktu tertentu.
Masa perjuangan kemerdekaan, dapat dilihat atau mendengarkan kesaksian dari para sesepuh kita bagaimana proses pendidikan dijalankan oleh pemerintah. Periode 1908-1945 ditandai kehadiran pemimpin politik yang penuh dedikasi dalam perjuangan merebut bangsa dari penjajah. Dokter Wahidin Sudirohusodo yakin bahwa pendidikan merupakan resep mujarab mengentaskan bangsa dari keterbelakangan. Demikian pula Ki Hajar Dewantara mengemas pemikirannya tentang pendidikan dalam sebuah konsep sederhana namun dalam filosofinya, yakni Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang mengawasi.
Sebaliknya pada periode 1959-1998 muncul pelaku politik yang tidak lagi berjalan dengan idealisme yang nasionalistik dan patriotik. Mereka lebih banyak berasyik dengan kepentingan kelompok, karena bagi mereka kekuasaan bukan lagi amanah namun kesempatan untuk memakmurkan diri, keluarga, dan teman-teman dekat. Mereka beranggapan pendidikan tidak menjanjikan finansial apapun, nonissue, sesuatu hal yang mudah, yang dapat ditangani siapa saja, sehingga wajar bila kemudian ditepikan. Hal ini dilihat dari animo politisi terhadap posisi politis. Pada umumnya kementerian ekonomi, keuangan, perdagangan, dan BUMN yang selalu diperebutkan dengan sengit, sedangkan kementerian pendidikan dianggap posisi kering.
Maka tidak mengherankan bila dalam periode tersebut bahkan hingga sekarang pendidikan mengalami krisis. “Salah urus”, begitu kata-kata yang tepat terhadap pendidikan kita. Bagaimana tidak, selama lebih dari 32 tahun orde baru plus 10 tahun reformasi, persoalan pendidikan tak beranjak dari soal kurikulum, materi pendidikan, guru, biaya pendidikan, sarana prasarana, dan evaluasi akhir, yang sejak awal telah menjadi permasalahan yang berlarut-larut, tanpa pernah menyentuh substansi yang sebenarnya.
Imber dan Geel (2004) menyatakan bahwa antara pemerintah yang demokratis, politik pendidikan, pilihan institusi, serta antipolitik berkorelasi dengan tercapainya tujuan pendidikan yang selaras dengan kepentingan publik. Melalui analisis itu, kita bisa belajar bahwa dalam masyarakat modern, pendidikan diharapkan menyelaraskan dengan tujuan dan kepentingan publik, melalui pemikiran dan peran serta para pakar pendidikan. Namun realitanya berbicara lain, justru yang sering terjadi adalah konflik berkepanjangan karena kepentingan politik yang dominan bermain, baik itu dari para politisi, pengendali pemerintahan, maupun ahli politik.
Jelas sudah bila pendidikan telah terkooptasi sedemikian rupa dengan kebijakan politik, maka secara umum tidaklah menguntungkan, karena dimungkinkan terjadinya “pembusukan” dari dalam sebagai akibat penjinakan (domestikasi) dinamika pendidikan. Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak memadainya kualifikasi orang-orang yang mengambil kebijakan, dalam arti mereka minim pemahaman tentang pendidikan, sehingga tak mampu menyelami hakikat dan masalah pendidikan.
Meskipun begitu kita tetap percaya di bawah kabinet pemerintahan sekarang masih akan dapat ditemukan politisi, yang mengutamakan hati nuraninya dalam berpikir, berbicara, dan memutuskan segala sesuatu. Hanya saja kita jangan over expectation bila mereka harus berhadapan dengan sistem. Sebaliknya dari kalangan pendidik saatnya untuk menyelami dunia politik. Maksudnya, masyarakat pendidikan aktif memengaruhi para pengambil keputusan di bidang pendidikan. Sehingga kaum pendidik tidak lagi terkungkung dalam dunianya, melainkan memiliki ruang gerak yang lebih leluasa dan signifikan. Jangan sampai ada apriori berlebihan yang menganggap politik itu selalu bermuka dua, sehingga dengan memolitikkan pendidikan berarti melakukan perbuatan tercela.
Kaum pendidik harus berani memberikan pencerahan kepada para politisi bahwasanya pendidikan bersifat antisipatoris dan prepatoris, yang selalu mengacu ke masa depan dan menyiapkan generasi muda untuk menghadapi kehidupan mendatang. Kalau kemudian ada kesan bahwa pendidikan tak dapat berbuat apa-apa saat ini, harus dimaklumi, namun ke depan, ia akan punya andil yang sangat besar dalam membentuk tata kehidupan ekonomi dan politik. Keberanian kaum pendidik meluruskan arah pemikiran politisi tentang pendidikan sudah barang tentu merupakan terobosan besar, yang pada saatnya nanti diharapkan akan mampu melahirkan budaya politik baru, yakni budaya politik yang mendorong pelaku politik bertindak jujur dan cerdas, bersedia meredusir unsur hedonistis dan mengoptimalkan watak humanistik-patriotik.

Toleransi Antar Umat Beragama

A. Pengertian Toleransi

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Toleransi yang berasal dari kata “toleran” itu sendiri berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.Toleransi juga berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan.
Dalam bahasa Arab, toleransi biasa disebut “ikhtimal, tasamuh” yang artinya sikap membiarkan, lapang dada (samuha-yasmuhu-samhan, wasimaahan, wasamaahatan) artinya: murah hati, suka berderma (kamus Al Muna-wir hal.702). Jadi, toleransi (tasamuh) beragama adalah menghargai dengan sabar, menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain.

Kesalahan memahami arti toleransi dapat mengakibatkan talbisul haqbil bathil (mencampuradukan antara hak dan bathil) yakni suatu sikap yang sangat terlarang dilakukan seorang muslim, seperti halnya nikah antar agama yang dijadikan alasan adalah toleransi padahal itu merupakan sikap sinkretisme yang dilarang oleh Islam. Sinkretisme adalah membenarkan semua agama. Sebagaimana yang telah dijelaskan diayat quran dibawah ini, Allah SWT berfirman:

“ Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”. (QS.Ali Imran: 19)

B. Pandangan Islam Mengenai Silaturahmi

Untuk terciptanya kehidupan yang rukun, damai dan sejahtera, Islam tidak hanya mengajarkan umatnya untuk semata beribadah kepada Allah SWT. Melainkan Islam justru sangat menekankan umatnya untuk membina dan menjalin silaturahmi yang baik dengan tetangga dan lingkungannya.

Islam adalah agama yang universal artinya rahmatan lil alamin. Umat Islam yang sangat menginginkan hidupnya mendapatkan ridha Allah SWT selalu namanya berpegang dengan ajaran Islam, dimana hubungan secara vertical kepada Allah senantiasa harus dibina tetapi karena manusia mahluk social maka dia harus membina hidup bermasyarakat artinya berhubungan dengan tetangga secara baik .

Islam sangat menjunjung tinggi silaturahmi dan cara memuliakan tetangga. Hal ini tercantum didalam ayat suci Al-Quran dan hadist, berikut dalilnya:

“Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui dan maha mendengar”. (QS Al-Hujurat:13)

Dari Abu Hurairah ra. Dia berkata: Rosulullah SAW bersabda: Barang siapa senang diperluas rezekinya diperpanjang umurnya 1) hendaklah bersilaturahmi. Riwayat Bukhari.






Dari ra dia berkata: Rosulullah SAW Bersabda: Apabila engkau masak kuah, berilah air yang banyak dan perhatikan hak tetanggamu. Riwayat Muslim.


Dari beberapa hadist diatas menandakan bahwasannya Rosulullah SAW sangat memuliakan tetangga. Karena dengan kita memuliakan tetangga banyak sekali manfaatnya. Selain itu aplikasi dalam kehidupannya, kebersamaan hidup antara orang-orang Islam dengan non Islam sebenarnya telah dicontohkan oleh Rosulullah ketika beliau dengan para sahabat mengawali hidup di Madinah setelah hijrah. Dimana Rosulullah mengikat perjanjian penduduk Madinah yang terdiri dari orang-orang kafir dan muslim untuk saling membantu dan menjaga keamanan kota Madinah dari gangguan.


C. Manfaat Toleransi Hidup Beragama Dalam Pandangan Islam

1. Menghindari Terjadinya Perpecahan

Bersikap toleran merupakan solusi agar tidak terjadi perpecahan dalam mengamalkan agama. Sikap bertoleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi yang selalu dibiasakan dalam wujud interaksi sosial. Toleransi dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya dengan eksisnya berbagai agama samawi maupun agama ardli dalam kehidupan umat manusia ini.

Dalam kaitanya ini Allah telah mengingatkan kepada umat manusia dengan pesan yang bersifat universal, berikut firman Allah SWT:

“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada -Nya orang yang kembali.”(As-Syuro:13)

”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Al-Imran:103)


Pesan universal ini merupakan pesan kepada segenap umat manusia tidak terkecuali, yang intinya dalam menjalankan agama harus menjauhi perpecahan antar umat beragama maupun sesama umat beragama.

2. Memperkokoh Silaturahmi dan Menerima Perbedaan

Salah satu wujud dari toleransi hidup beragama adalah menjalin dan memperkokoh tali silaturahmi antarumat beragama dan menjaga hubungan yang baik dengan manusia lainnya. Pada umumnya, manusia tidak dapat menerima perbedaan antara sesamanya, perbedaan dijadikan alasan untuk bertentangan satu sama lainnya. Perbedaan agama merupakan salah satu faktor penyebab utama adanya konflik antar sesama manusia.

Merajut hubungan damai antar penganut agama hanya bisa dimungkinkan jika masing-masing pihak menghargai pihak lain. Mengembangkan sikap toleransi beragama, bahwa setiap penganut agama boleh menjalankan ajaran dan ritual agamanya dengan bebas dan tanpa tekanan. Oleh karena itu, hendaknya toleransi beragama kita jadikan kekuatan untuk memperkokoh silaturahmi dan menerima adanya perbedaan. Dengan ini, akan terwujud perdamaian, ketentraman, dan kesejahteraan.

KESIMPULAN

Toleransi dalam beragama bukan berarti kita harus hidup dalam ajaran agama lain.Namun toleransi dalam beragama yang dimaksudkan disini adalah meng- hormati agama lain. Dalam bertoleransi janganlah kita berlebih-lebihan sehingga sikap dan tingkah laku kita mengganggu hak-hak dan kepentingan orang lain. Lebih baik toleransi itu kita terapkan dengan sewajarnya. Jangan sampai toleransi itu menyinggung perasaan orang lain. Toleransi juga hendaknya jangan sampai merugikan kita, contohnya ibadah dan pekerjaan kita.

Sabtu, 17 September 2011

Potret Pendidikan zaman penjajahan

1.Pendidikan selama penjajahan Belanda
Pendidikan selama penjajahan Belanda  dapat dipetakan kedalam 2 (dua) periode besar, yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia Belanda (Nederlands Indie). pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial.
1.Zaman VOC (Kompeni)
Orang belanda datang ke indonesia bukan untuk menjajah melainkan untuk berdagang. Mereka di motifasi oleh hasrat untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya, sekalipun harus mengarungi laut yang berbahaya sejauh ribuan kilometer dalam kapal layar kecil untuk mengambil rempah-rempah dari indonesia. Namun pedagang itu merasa perlunya memiliki tempat yang permanen di daratan dari pada berdagang dari kapal yang berlabuh di laut. Kantor dagang itu kemudian mereka perkuat dan persenjatai dan menjadi benteng yang akhirnya menjadi landasan untuk menguasai daerah di sekitarnya. Lambat laun kantor dagang itu beralih dari pusat komersial menjadi basis politik dan teritorial. Setelah peperangan kolonial yang banyak akhirnya indonesia jatuh seluruhnya di bawah pemerintahan belanda. Namun penguasaan daerah jajahan ini baru selesai pada permulaan abad ke 20.
Metode kolonialisasi belanda sangat sederhana. Mereka mempertahankan raja-raja yang berkuasa dan menjalankan pemerintahan melalui raja-raja itu akan tetapi menuntut monopoli hak berdagang dan eksploitasi sumber-sumber alam. Adat istiadat dan kebudayaan asli dibiarkan tanpa perubahan aristokrasi tradisional digunakan oleh belanda untuk memerintah negri ini dengan cara efisien dan murah. Oleh sebab belanda tidak mencampuri kehidupan orang Indonesia secara langsung, maka sangat sedikit yang mereka perbuat untuk pendidikan bangsa. Kecuali usaha menyebarkan agama mereka di beberapa pulau di bagian timur Indonesia. Kegian pendidikan pertama yang dilakukan VOC.
Pada permulaan abad ke 16 hampir se abad sebelum kedatangan belanda, pedagang portugis menetap di bagian timur Indonesia tempat rempah-rempah itu di hasilkan. Biasanya mereka didampingi oleh misionaris yang memasukkan penduduk kedalam agama katolik yang paling berhasil tiantara mereka adalah Ordo Jesuit di bawah pimpinan Feranciscus Xaverius. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang ampuh untuk penyebaran agama. Seminari dibuka di ternate, kemudian di solor dan pendidikan agama yang lebih tinggi dapat diperoleh di Goa, India, pusat kekuasaan portugis saat itu. Bahasa portugis hamper sama populernya dengan bahasa melayu, kedudukan yang tak kunjung di capai oleh bahasa Belanda dalam waktu 350 tahun penjajahan kekuasaan portugis melemah akibat peperangan denngan raja-raja Indonesia dan akhirnya dilenyapkan oleh belanda pada tahun 1605.
1.Zaman Pemerintahan Belanda Setelah VOC
Setelah VOC dibubarkan, para Gubernur/ komisaris jendral harus memulai system pendidikan dari dasarnya, karena pendidikan zaman VOC berakhir dengan kegagalan total. Pemerintahan baru yang diresapi oleh ide-ide liberal aliran aufklarung atau Enlightenment menaruh kepercayaan akan pendidikan sebagai alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan social. Pada tahun 1808 Deandels seorang Gubernur Belanda mendapat perintah Raja Lodewijk untuk meringankan nasib rakyat jelata dan orang-orang pribumi poetra,serta melenyapkan perdagangan budak. Usaha Deandels tersebut tidak berhasil, bahkan menambah penderitaan rakyat, karena ia mengadakan dan mewajibkan kerja paksa (rodi).
Didalam lapangan pendidikan Deandels memerintahkan kepada Bupati-bupati di Pulau Jawa agar mendirikan sekolah atasa uasaha biaya sendiri untuk mendidik anak-anak mematuhi adat dan kebiasaan sendiri. Kemidian Deandels mendirikan sekolah Bidan di Jakarta dan sekolah ronggeng di Cirebon. Kemudian Pada masa (interregnum inggris) pemerintahan Inggris (1811-1816) tidak membawa perubahan dalam masalah pendidikan walaupun Sir Stamford Raffles seorang ahli negara yang cemerlang. Ia lebih memperhatikan perkembanagan ilmu pengetahuan, sedangkan pengajaran rakyat dibiarkan sama sekali. Ia menulis buku History of Java.
Setelah ambruknya VOC tahun 1816 pemerintah Belanda menggantikan kedudukan VOC. Statua Hindia Belanda tahun 1801 dengan terang-terangan menyatakan bahwa tanah jajahan harus memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada perdagangan dan kepada kekayaan negeri Belanda. Pada tahun 1842 Markus, menteri jajahan, memberikan perintah agar Gubernur Jendral berusaha dengan segenap tenaga agar memperbesar keuntungan bagi negerinya. Walaupuan setiap Gubernur Jendaral pada penobatannya berjanji dengan hidmat bahwa ia akan memajukan kesejahteraan hindia Belanda dengan segenap usuha prinsip yang masih dipertahankan pada tahun 1854 ialah bahwa hindia Belanda sebagai “negeri yang direbut harus terus member keuntungan kepada negeri belanda sebagai tujuan pendidikan itu.  Sekolah pertama bagi anak Belanda dibuka di Jakarta pada tahun 1817 yang segera diikuti oleh pembukaan sekolah dikota lain di Jawa. Prinsip yang dijadikan pegangan tercantum distatuta 1818 bahwa sekolah-sekolah harus dibuka ditiap tempat bila diperlukan oleh penduduk Belanda dan diizinkan  oleh keadaan.
Gubernur Jendral Van der Capellen (1819-1823) menganjurkan pendidikan rakyat dan pada tahun 1820 kembali regen-regen diinstruksikan untuk menyediakan sekolah bagi penduduk untk mengajar anak-anak membaca dan menulis serta mengenal budi peketi yang baik. Anjuran Gubernur Jendral itu tidak berhasil untuk mengembangkan pendidikan oleh regen yang aktif.
Tahun 1826 lapangan pendidikan dan pengajaran terganganggu oleh adanyan usaha-usaha penghematan. Sekolah-sekolah yang ada hanya  bagi anak-anak Indonesia yang memeluk agama Nasrani. Alsannya adalah karena adanya kesulitan financial yang berat yang dihadapi orang Belanda sebagai akibat perang Diponegoro (1825-1830) yang mahal dan menelan banyak korban seerta peperangan antara Belanda dan Belgia (1830-1839).
Kesulitan keuangan ini menyebabkan raja belanda untuk meninggalkan prinsip-prinsip liberal dan menerima rencana yang dianjurkan Van den Bosch, bekas Gubernur di Guyana, jajahan Belanda di Amerika selatan, untuk memanfaatkan pekerjaan budak menjadi dasar eksploitasi colonial. Ia membawa ide penggunaan kerja paksa(rodi) sebagai cara yang ampuh untuk memperoleh cara usaha maksimal, yang kemudian terkenal dengan cultuur stelsel atau tanam paksa yang memaksa penduduk untuk menghasilkan tanaman yang diperlukan dipasaran Eropa.
Van den Bosch mengerti, bahwa untuk memperbaiki stesel pembangunan ekonomi bagi belanda dibutuhkan tenaga-tenaga ahli yang banyak. Setelah tahun 1848 dikeluarkan peraturan-peraturan yang menunjukan perintah lambat laun menerima tanggung jawab yang lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia sebagai hasil perdebatan diparlemen Belanda dan mencerminkan sikap Liberal yang lebih menguntungkan tehadap rakyat Indonesia. Terbongkarnya penyalahgunaan system tanam paksa merupakan factor dalam perbahan pandangan. Peraturan pemerintah tahun 1854 mengimtruksikan Gubernur Jendral untuk mendirikan sekolah dalam tiap kabupaten bagi pendidikan anak pribumi. Peraturan tahun 1863 mewajibkan Gubernur Jendral untuk mengusahakan terciptanya situasi yang memungkinkan penduduk bumi putera pada umumnya menikmati pendidikan.
Sistem tanam paksa dihapuskan tehun 1870 dan digantikan dengan undang-undang Agraria 1870. Pada tahun itu di Indonesia timbul masa baru dengan adanya undang-undang Agraria dari De Waal, yang member kebebasan pada pengusaha-pengusaha pertania partikelir. Usaha-usaha perekonomian makin maju, masyarakat  lebih banyak lagi membutuhkan pegawai. Sekolah-sekolah  yang ada dianggap belum cukup memenuhi kebutuhan. Itulah sebabnya maka usaha mencetak calon-calon pegawai makin dipergiat lagi. Kini tugas departemen adalah memelihara sekolah-sekolah yang ada dengan lebih baik dan mempergiat usaha-usaha perluasan sekolah-sekolah baru.
Pada tahun 1893 timbullah differensiasi pengajaran bumi putera. Hal ini disebabkan:
1.Hasil sekolah-sekolah bumi putra kurang memuaskan pemerintah colonial. Hal ini terutama sekali desebabkan karena isi rencana pelaksanaannya terlalu padat.
2.Dikalangan pemerintah mulai timbul perhatian pada rakyat jelata. Mereka insyaf bahwa yang harus mendapat pengjaran itu bukan hanya lapisan atas saja.
3.Adanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai kedua kebutuhan dilapangan pendidikan yaitu lapisan atas dan lapisa bawah.
Untuk mengatur dasar-dasar baru bagi pengajaran bumi putra, keluarlah indisch staatsblad 1893 nomor 125 yang membagi sekolah bumi putra menjadi dua bagian:
a)      Sekolah-sekolah kelas I untuk anak-anak priyai dan kaum terkemuka.
b)      Sekolah-sekolah kelas II untuk rakyat jelata.
Perbedaan sekolah kelas I dan kelas II antara lain:
Kelas I
Tujuan: memenuhi kebutuhan pegawai pemerintah, perdagangan dan  perusahaan.
Lama bersekolah: 5 tahun
Mata pelajarannya: membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, pengetahuan alam, menggambar, dan ilmu ukur.
Guru-guru: keluaran Kweekschool
Bahasa pengantar: Bahasa Daerah/Melayu
Kelas II
Tujuan: Memenuhi kebutuhan pengajaran di kalangan rakyat umum
Lama bersekolah: 3 tahun
Mata paelajaran: Membaca, menulis dan berhitung.
Guru-guru: persyaratannya longgar
Bahasa pengantar: Bahasa Daerah/Melayu
Pada tahun 1914 sekolah kelas I diubah mejadi HIS (Hollands Inlandse School) dengan bahasa pengantar bahasa Belanda sedangkan sekolah kelas II tetap atau disebut juga sekolah vervolg (sekolah sambungan) dan merupakan sekolah  lanjutan dari sekolah desa yang mulai didirikan sejak tahun 1907.
1.B. Politik Etika dan pengajaran
Indonesia yang kaya raya ini di keruk terus menerus oleh penjajah Belanda. Keuntungan mengalir terus ke negeri Belanda. Rakyat Indonesia tetap miskin. Keadaan ini sangat menggelisahkan kaum Importir Belanda yang membawa barang hasil industry dari Eropa ke Indonesia. Mereka tidak dapat menjual barangnya karena daya beli masyarakat sangat rendah, sedangkan industri di negeri Belanda sedang pesat. Mereka menginginkan agar Indonesia yang banyak penduduknya itu menjadi pasar bagi industry Belanda. Sedangkan para eksportir mendapat laba besar dengan membawa barang mentah dari Indonesia. Untuk memenuhi kaum importir tidak ada jalan lain yang harus segera ditempuh selain memperbaiki dan membuat ekonomi rakyat Indonesia yang sudah rusak.
Selain itu pada tahun 1899 terbit sebuah artikel oleh Van Devender berjudul “Hutang Kehormatan” dalam majalah De Gids. Disitu ia mengemukakan bahwa keuntungan yang diperoleh oleh Indonesia selama ini hendaknya dibayar kembali dari perbendaharaan Negara. Peristiwa itu dapat dipandang sebagai ekspresi ide yang baru kemudian dikenal dengan politik etika. Van Devender menganjurkan program ini untuk memajukan kesejahteraan rakyat dengan memperbaiki irigasi agar memprodusi pertanian, menganjurkan trasmigrasi dan perbaikan dalam lapangan pendidikan. Ia juga mengembangkan pengajaran bahasa Belanda secara cultural lebih maju dan dapat menjadi pelopor bagi bangsanya.
Factor lain yang menyebabkan berlangsungnya politik etika ini ialah kebangkitan Nasional dengan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908, serikat islam partai politik pertama di Indonesia yang didasarkan atas organisai Barat didirikan tahun 1919, adanya volksraad tahun 1918 yang merupakan saluran bagi orang Indonesia untuk menyatakan pendapatnya. Sejak dilaksanakannya politik etika tampak sekali kemajuan dalam pendidikan dengan diperbanyaknya sekolah rendah, sekolah yang berorientasi Barat untuk orang Cina dan Indonesia didirikan .Demikian juga pendidikan dikembangkan secara vertical dengam didirikannya MULO dan AMS yang terbuka bagi anak Indonesia untuk melanjutkan ke tingkat universitas.
Dalam rangka memperbaiki pengajaran rendah bagi kaum bumi putra, maka pada tahun 1907 diambil dua tindakan penting yaitu:
1.1. Memberi corak dan sifat kebelandaan-belandaan pada sekolah kelas I, misalnya:
a)   Bahasa Belanda dijadikan mata pelajaran sejak kelas 3
b)   Di kelas 6 bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar
c)   Lama belajar menjadi 7 tahun
d)  Tahun 1914 dijadikan  KIS dan menjadi bagian pengajaran rendah barat
e)   Murid-muridnya anak-anak bangsawan dan terkemuka
1.2. Mendirikan Sekolah Desa
Maksud pemerintah untuk memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia tidak tercapai, karena sekolah-sekolah bumi putra kelas II merupakan lembaga yang mahal dan memerlukan anggaran yang besar. Maka atas perintah Gubernur Jendral Van Heutsz tahun 1907 didirikan sekolah-sekolah desa. Bangunannya didirikan oleh desa dan guru-gurunya juga diangkat oleh desa pula, jadi bukan pegawai negeri.
Jadi susunan pengajaran bagi anak-anak Indonesia untuk sekolah rendah ada tiga, yaitu:
a)   Sekolah Desa, bagi anak-anak biasa
b)   Sekolah kelas II, yang kemudian diubah menjadi sekolah Vervolg
c)   Sekolah kelas I, yang sejak tahun 1914 dijadikan HIS bagi anak-anak bangsawan dan aristocrat
1.C. Sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda
Secara umum sistem pendidikan khususnya system persekolahan didasarkan kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) social yang ada dan menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu.
1.Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)
Pada hakikatnya pendidikan dasar untuk tingkatan sekolah dasar mempergunakan system pokok yaitu:
1.Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.
a)   Sekolah rendah Eropa, yaitu ELS (Europese Lagere school), yaitu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan Eropa atau anak-anak turunan Timur asing  atau Bumi putra dari tokoh-tokoh terkemuka. Lamanya sekolah tujuh tahun 1818.
b)   Sekolah Cina Belanda, yaitu HCS (Hollands Chinese school), suatu sekolah rendah untuk anak-anak keturunan tmur asing, khususnya keturunan Cina. Pertama didirikan pada tahun 1908 lama sekolah tujuh tahun.
c)   Sekolah Bumi  putra Belanda HIS (Hollands inlandse school), yaitu sekolah rendah untuk golongan penduduk Indonesia asli. Pada umumnya disediakan untuk anak-anak golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka atau pegawai negeri. Lamanya sekolah tujuh tahun dan pertama didirikan pada tahun 1914.
1.Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa daerah
1.Sekolah Bumi Putra kelas II (Tweede klasee). Sekolah ini disediakan untuk golonagan bumi putra. Lamaya sekolah tujuh tahun, pertama didirikan tahun 1892.
2.Sekolah Desa (Volksschool). Disediakan bagi anak-anak golongan bumi putra. Lamanya sekolah tiga tahun yang pertama kali didirikan pada tahun 1907.
3.Sekolah Lanjutan (Vorvolgschool). Lamanya dua tahun merupakn kelanjutan dari sekolah desa, juga diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Pertama kali didirikan pada tahun 1914.
4.Sekolah Peralihan (Schakelschool)
Merupakan sekolah peralihan dari sekolah desa  (tiga tahun) kesekolah dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya lima tahun dan diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Disamping sekolah dasar tersebut diatas masih terdapat sekolah khusus untuk orang Ambon seperti Ambonsche Burgerschool yang pada tahun 1922 dijadikan HIS. Untuk anak dari golongan bangsawan disediakan sekolah dasar khusus yang disebut sekolah Raja (Hoofdensschool). Sekolah ini mula-mula didirikan di Tondano pada tahun 1865 dan 1872, tetapi kemudian diintegrasi ke ELS atau HIS.
1.Pendidikan lanjutan = Pendidikan Menengah
1.MULO (Meer Uit gebreid lager school), sekolah tersebut adalah kelanjutan dari sekolah dasar yang berbasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya tiga sampai empat tahun. Yang  pertama didirikan pada tahun 1914 dan diperuntukan bagi golongan bumi putra dan timur asing. Sejak zaman jepang hingga sampai sekarang bernama SMP. Sebenarnya sejak tahun 1903 telah didirikan kursus MULO untuk anak-anak Belanda, lamanya dua tahun.
2.AMS (Algemene Middelbare School) adalah sekolah menengah umum kelanjutan dari MULO berbahasa belanda dan diperuntukan golongan bumi putra dan Timur asing. Lama belajarnya tiga tahun dan yang petama didirikan tahun 1915. AMS ini terdiri dari dua jurusan (afdeling= bagian), Bagian A (pengetahuan kebudayaan) dan Bagian B (pengetahuan alam ) pada zaman jepang disebut sekolah menengah tinggi, dan sejak kemerdekaan disebut SMA.
3.HBS (Hoobere Burger School) atau sekolah warga Negara tinggi adalah sekolah menengeh kelanjutan dari ELS yang disediakan untuk golongan Eropa, bangsawan golongan bumi putra atau tokoh-tokoh terkemuka. Bahasa pengantarnya adalah bahasa belanda dan berorentasi ke Eropa Barat, khususnyairikan pada belanda. Lama sekolahnya tiga tahun dan lima tahun. Didirikan pada tahun 1860
4.Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs )
Sebagai pelaksanaan politik etika pemerintah belanda banyak mencurahkan perhatian pada pendidikan kejuruan. Jenis sekolah kejuruan yang ada  adalah sebagai berikut:
1.Sekolah pertukangan (Amachts leergang) yaitu sekolah berbahasa daerah  dan menerima sekolah lulusan bumi putra kelas III (lima tahun) atau sekolah lanjutan (vervolgschool). Sekolah ini didirikan bertujuan untuk mendidik tukang-tukang. didirikan pada tahun 1881
2.Sekolah pertukangan (Ambachtsschool) adalah sekolah pertukangan berbahasa pengantar Belanda dan lamanya sekolah tiga tahun menerima lulusan HIS, HCS  atau schakel. Bertujuan untuk mendidik dan mencetak mandor jurusanya antara lain montir mobil, mesin, listrik, kayu dan piñata batu
3.Sekolah teknik (Technish Onderwijs) adalah kelanjutan dari Ambachtsschool, berbahasa Belanda, lamanya sekolah 3 tahun. Sekolah tersebut bertujuan untuk mendidik tenaga-tenaga Indonesia untuk menjadi pengawas, semacam tenaga teknik menengah dibawah insinyur.
4.Pendidikan Dagang (Handels Onderwijs). Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan perusahaan Eropa yang berkembang dengan pesat.
5.Pendidikan pertanian (landbouw Onderwijs) pada tahun 1903 didirikan sekolah pertaian Yang menerima lulusan sekolah dasra yang berbahasa penganatar belanda. Pada tahun 1911 mulai didirikan sekolah pertanian (cultuurschool) yang terdiri dari dua jurusan, pertanian dan kehutanan. Lama belajaranya sekitar 3-4 tahun, dan bertujuan untuk menghasilkan pengawas-pengawas pertanian dan kehutanan. Pada rtahun 1911 didirikan pula sekolah pertanian menengah atas (Middelbare Landbouwschool) yang menerima lulusan MULO atau HBS yang lamanya belajar 3 tahun.
6.Pendidikan kejuruan kewanitaan (Meisjes Vakonderwijs).
7.Pendidikan ini merupakan kejuruan yang termuda. Kemudian sekolah yang sejenis yang didirikn oleh swasta dinamakan Sekolah Rumah Tangga (Huishoudschool). Lama belajarnya tiga tahun.
8.Pendidikan keguruan (Kweekschool). Lembaga keguruan ini adalah lembaga yang tertua dan sudah ada sejak permulaan abad ke-19. Sekolah guru negeri yang pertama didirikan pada tahun 1852 di Surakarta. Sebelum itu pemerintah telah menyelenggarakan kursus-kursus guru yang diberi nama Normal Cursus yang dipersiapkan untuk menghasilkan guru-guru sekolah desa. Pada abad ke-20 terdapat tiga macam pendidikan guru, yaitu:
1.Normalschool,sekolah guru dengan masa pendidikan empat tahun dan menerima lulusan sekolah dasar lima tahun, berbahasa pengantar bahasa dearah.
2.Kweekschool, sekolah guru empat tahun yang menerima lulusan berbahasa belanda.
3.Hollandschool Indlandschool kweekschool, sekolah guru 6 tahun berbahasa pengantar Belada dan bertujuan menghasilkan guru HIS-HCS.
4.Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)
Karena terdesak oleh tenaga ahli, maka didirikanlah:
a)   Sekolah Tehnik Tinggi (Technische Hoge School).
Sekolah Tehnik Tinggi ini yang diberi nama THS didirikan atas usaha yayasan pada tahun 1920 di Bandung. THS adalah sekolah Tinggi yang pertama di Indonesia, lama belajarnya lima tahun. Sekolah ini kemudian menjelma menjadi ITB.
b)   Sekolah Hakim Tinggi (Rechskundige Hoge school).
RHS didirikan pada tahun 1924 di Jakarta. Lama belajarnya 5 tahun, yang tama AMS dapat diterima di RHS. Tamatan ini dijadikan jaksa atau hakim pada pengadilan.
c)   Pendidiakn tinggi kedokteran.
Lembaga ini di Indonesia di mulai dari sekolah dasar lima tahun. Bahasa pengantarnya bahasa melayu . pada tahun 1902 sekolah dokter jawa diubah menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Voor Indische Artsen) yang menerima lulusan ELS, dan berbahasa pengantar Belanda. Lama belajarnya 7 tahun. Kemudian syarat penerimaannya ditingkatkan menjadi lulusan MULO. Pada tahun 1913 disamping STOVIA di Jakarta didirikan sekolah tinggi kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) Yang lama belajaranya 6 tahun dan menerima lulusan AMS  dan HBS.
1.D. Beberapa Ciri Umum Politik Pendidikan Belanda
Politik pendidikan colonial erat hubungannya dengan politik mereka pada umumnya, suatu politik yang didominasi oleh golongan yang berkuasa dan tidak didorong oleh nilai-nilai etis dengan maksud untuk membina kematangan politik dan kemerdekaan tanah jajahannya. Berhubungan dengan sikap itu dapat kita lihat sejumlah ciri politik dan prakti pendidikan tertentu.
Ø Menurut Tilaar (1995) dalam pandangannya menyebutkan ada 5 ciri yang dapat ditemukan pendidikan kita dimasa colonial belanda yaitu:
1.System Dualisme
Dalam system dualisme diadakan garis pemisahan antara system pendidikan untuk golongan Eropa dan system pendidikan unutk golongan bumi putra. Jadi disini diadakan garis pemisah sesuai dengan politik colonial yang membedakan antara bumi putra dan pihak penjajah.
1.System Korkondasi
System ini berarti bahwa pendidikan didaerah penjajahan disesuaikan dengan pendidikan yang terdapat di Belanda. System ini diasumsikan bahwa dengan System yang berkrkondasi dengan system yang ada di negeri Belanda, maka mutu pendidikan terjamin setingkat pendidikan di Negara Belanda.
1.Sentralisasi
Kebijakan pendidikan dizaman colonial diurus oleh departemen pengajaran. Departemen ini yang mengatur segala sesuatu mengeani pendidikan dengan perwakilannya yang terdapat dipropinsi-propinsi Besar.
1.Menghambat gerakan Nasional
Pendidikan pada masa itu sangat selektif karena bukan diperuntukan untuk masyarakat pribumi putra untuk mendapatkan pendidikan dengan seluas-luasnya atau pendidikan yang lebih tinggi. Didalam kurikulum pendidikan colonial pada waktu itu, misalnya sangat dipentingkan penguasaan bahasa belanda dan hal-hal mengenai negeri belanda. Misalnya dalam pengajaran ilmu bumi, anak-anak bumi putra harus menghapal kota-kota kecil yang ada di negeri Belanda.
1.Perguruan swasta yang militer
Salah satu perguruan swasta yang gigih menentang kekuasaan colonial adalah seolah-olah taman siswa yang didirikan oleh kihajar dewantara  tanggal 3 juli 1922.
1.Tidak adanya perencanaan pendidikanyan sistematis
Perkembangan pendidikan merupakan rangkaian kompromi antara usaha pemerintah untuk memberikan pendidikan minimal bagi pribumi dan tuntutan yang terus menerus dari pihak Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan orang Belanda.
Ø Menurut Prof. Dr. S. Nasution mengemukakan enam cirri umum politik pendidikan Belanda, yaitu:
1.Dualisme
Dualisme dalam pendidikan dengan adanya sekolah untuk anak Belanda dan untuk yang tak berada, sekolah yang memberi kesempatan melanjutkan dan tidak memeberi kesempatan.
1.Gradualisme
Gradualisme dengan mengusahakan pendidikan rendah yang sederhana mungkin bagi anak Indonesia dan memperlambat lahirnya sekolah untuk anak Indonesia.
1.Prinsip Konkordansi
Prinsip yang memaksa semua sekolah berorientasi barat mengikuti model sekolah Nederland dan menghalangi penyesuaiannya dengan keadaan Indonesia.
1.Control sentral yang kuat
Yang menciptakan birokrasi yang ketat yang hanya memungkinkan perubahan kurikulum dengan persetujuan para pembesar di Indonesia maupun di negeri Belanda.
1.Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis
Menyebabkan pemerintah mengadakan percobaan dengan berbagai macam sekolah menurut keadaan zaman.
1.Pendidikan pegawai sebagai tujuan utama sekolah.
Penyelenggaraan dan penerimaan murid didasarkan atas kebutuhan pemerintah Belanda dalam tenaga kerja.
Beberapa prinsip yang oleh pemerintah Belanda diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain:
1.Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu;
2.Memperhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial;
3.Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa.
4.Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial. Jadi secara tidak langsung, Belanda telah memanfaatkan kelas aristokrat pribumi untuk melanggengkan status quo kekuasaan kolonial di Indonesia.