Kamis, 22 September 2011

Politik Pendidikan di Indonesia

Bidang pendidikan tidak dapat terlepas dari sosio-politik, karena bagaimanapun kebijakan politik menentukan arah pengembangan pendidikan. Namun apa jadinya bila pendidikan banyak terkontaminasi politik? Tentu saja tergantung bagaimana para pelaku politik itu menyikapi pendidikan. Apakah mereka benar-benar menginginkan negara ini maju dengan memiliki sumber daya manusia yang cerdas, mandiri, kreatif, serta penuh inisiatif? Atau justru penuh pretensi yang muaranya adalah pada vested interest, pementingan diri sendiri dan kelompok? Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat ditemukan bila mencermati politik pendidikan yang berlangsung dalam kurun waktu tertentu.
Masa perjuangan kemerdekaan, dapat dilihat atau mendengarkan kesaksian dari para sesepuh kita bagaimana proses pendidikan dijalankan oleh pemerintah. Periode 1908-1945 ditandai kehadiran pemimpin politik yang penuh dedikasi dalam perjuangan merebut bangsa dari penjajah. Dokter Wahidin Sudirohusodo yakin bahwa pendidikan merupakan resep mujarab mengentaskan bangsa dari keterbelakangan. Demikian pula Ki Hajar Dewantara mengemas pemikirannya tentang pendidikan dalam sebuah konsep sederhana namun dalam filosofinya, yakni Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Di depan memberi contoh, di tengah membangun semangat, dan di belakang mengawasi.
Sebaliknya pada periode 1959-1998 muncul pelaku politik yang tidak lagi berjalan dengan idealisme yang nasionalistik dan patriotik. Mereka lebih banyak berasyik dengan kepentingan kelompok, karena bagi mereka kekuasaan bukan lagi amanah namun kesempatan untuk memakmurkan diri, keluarga, dan teman-teman dekat. Mereka beranggapan pendidikan tidak menjanjikan finansial apapun, nonissue, sesuatu hal yang mudah, yang dapat ditangani siapa saja, sehingga wajar bila kemudian ditepikan. Hal ini dilihat dari animo politisi terhadap posisi politis. Pada umumnya kementerian ekonomi, keuangan, perdagangan, dan BUMN yang selalu diperebutkan dengan sengit, sedangkan kementerian pendidikan dianggap posisi kering.
Maka tidak mengherankan bila dalam periode tersebut bahkan hingga sekarang pendidikan mengalami krisis. “Salah urus”, begitu kata-kata yang tepat terhadap pendidikan kita. Bagaimana tidak, selama lebih dari 32 tahun orde baru plus 10 tahun reformasi, persoalan pendidikan tak beranjak dari soal kurikulum, materi pendidikan, guru, biaya pendidikan, sarana prasarana, dan evaluasi akhir, yang sejak awal telah menjadi permasalahan yang berlarut-larut, tanpa pernah menyentuh substansi yang sebenarnya.
Imber dan Geel (2004) menyatakan bahwa antara pemerintah yang demokratis, politik pendidikan, pilihan institusi, serta antipolitik berkorelasi dengan tercapainya tujuan pendidikan yang selaras dengan kepentingan publik. Melalui analisis itu, kita bisa belajar bahwa dalam masyarakat modern, pendidikan diharapkan menyelaraskan dengan tujuan dan kepentingan publik, melalui pemikiran dan peran serta para pakar pendidikan. Namun realitanya berbicara lain, justru yang sering terjadi adalah konflik berkepanjangan karena kepentingan politik yang dominan bermain, baik itu dari para politisi, pengendali pemerintahan, maupun ahli politik.
Jelas sudah bila pendidikan telah terkooptasi sedemikian rupa dengan kebijakan politik, maka secara umum tidaklah menguntungkan, karena dimungkinkan terjadinya “pembusukan” dari dalam sebagai akibat penjinakan (domestikasi) dinamika pendidikan. Kondisi ini semakin diperparah dengan tidak memadainya kualifikasi orang-orang yang mengambil kebijakan, dalam arti mereka minim pemahaman tentang pendidikan, sehingga tak mampu menyelami hakikat dan masalah pendidikan.
Meskipun begitu kita tetap percaya di bawah kabinet pemerintahan sekarang masih akan dapat ditemukan politisi, yang mengutamakan hati nuraninya dalam berpikir, berbicara, dan memutuskan segala sesuatu. Hanya saja kita jangan over expectation bila mereka harus berhadapan dengan sistem. Sebaliknya dari kalangan pendidik saatnya untuk menyelami dunia politik. Maksudnya, masyarakat pendidikan aktif memengaruhi para pengambil keputusan di bidang pendidikan. Sehingga kaum pendidik tidak lagi terkungkung dalam dunianya, melainkan memiliki ruang gerak yang lebih leluasa dan signifikan. Jangan sampai ada apriori berlebihan yang menganggap politik itu selalu bermuka dua, sehingga dengan memolitikkan pendidikan berarti melakukan perbuatan tercela.
Kaum pendidik harus berani memberikan pencerahan kepada para politisi bahwasanya pendidikan bersifat antisipatoris dan prepatoris, yang selalu mengacu ke masa depan dan menyiapkan generasi muda untuk menghadapi kehidupan mendatang. Kalau kemudian ada kesan bahwa pendidikan tak dapat berbuat apa-apa saat ini, harus dimaklumi, namun ke depan, ia akan punya andil yang sangat besar dalam membentuk tata kehidupan ekonomi dan politik. Keberanian kaum pendidik meluruskan arah pemikiran politisi tentang pendidikan sudah barang tentu merupakan terobosan besar, yang pada saatnya nanti diharapkan akan mampu melahirkan budaya politik baru, yakni budaya politik yang mendorong pelaku politik bertindak jujur dan cerdas, bersedia meredusir unsur hedonistis dan mengoptimalkan watak humanistik-patriotik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar