Jumat, 16 September 2011

Kehidupan SOSIAL-BUDAYA indonesia MASA KOLONIAL

Semakin luasnya kekuasaan Kolonial di
Indonesia maka untuk mempertahankan dan
menjalankan struktur dan tugasnya, pemerintah
Kolonial memanfaatkan potensi manusia Indonesia.
Kebutuhan akan tenaga kerja manusia yang
profesional, setidaknya tenaga kerja yang bisa
membaca dan menulis semakin dibutuhkan.
Keadaan tersebut semakin diperkuat keberadaannya
setelah adanya tuntutan perbaikan nasib
bangsa, terutama dalam bidang pendidikan dan
wawasan bangsa Indonesia dari golongan humanis, akhirnya mendorong
pemerintah Kolonial untuk mengadakan pendidikan bagi kaum pribumi.
Pelaksanaan politik pendidikan oleh pemerintah Kolonial pada awalnya
bertujuan untuk menyiapkan individu yang bisa membaca dan menulis, sehingga
nantinya bisa dipekerjakan pada perkebunan-perkebunan atau perusahaanperusahaan
industri. Tenaga kerja yang bisa membaca dan menulis ini biasanya
ditempatkan sebagai mandor yang mengawasi para pekerja atau buruh lainnya.
Penerimaan pegawai tentu diambil atas dasar keloyalan pada pemerintah,
sehingga dapat memperkuat struktur pemerintahan kolonial di Indonesia.
Penyelenggaraan pendidikan kolonial bagi bangsa Indonesia pada dasarnya
tidak terlepas dari usaha pelaksanaan politik etis. Pendidikan ini mulai dirintis
oleh Fransen van der Putte pada pertengahan abad ke-19 yang menekankan
perlunya peningkatan pendidikan bumiputera, meskipun tidak bisa dipungkiri
bahwa tujuan awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja
yang bisa membaca dan menulis saja. Tenaga kerja ini nantinya disalurkan
untuk membantu tugas-tugas pemerintah Kolonial, termasuk dalam mengelola
perkebunan-perkebunan.
Dalam menunjang pelaksanaan pengajaran di tingkat rendahan, yakni
pengajaran untuk bumiputera, maka pemerintah Kolonial membuka sekolah-sekolah guru (kweekschool) di berbagai daerah antara lain di Surakarta (1852),
di Bukittinggi (1858), Tapanuli (1864), dan Bandung (1866).
Penyelenggaraan pendidikan Kolonial di Indonesia dalam perkembangan
selanjutnya difokuskan pula untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti sebagai sarana
untuk mencapai kejayaan agama Protestan di Indonesia. Dengan kata lain,
tujuan pendidikan bagi bidang keagamaan dilakukan pemerintah Kolonial
untuk menyebarkan agama Protestan. Penyebaran agama Protestan ini dilakukan
dengan memfungsikan kembali organisasi yang diberi nama Zending, yakni
sebuah organisasi missionaris agama Protestan yang sebenarnya telah dirintis
sejak VOC masuk ke Indonesia. Melalui organisasi inilah akhirnya agama
Protestan menyebar dan berkembangnya di beberapa daerah di Indonesia,
seperti Maluku, Minahasa, Nusa Tenggara Timur, Jawa, Batavia, Halmahera,
Buru, Irian, Poso, Tapanuli (Sumatra) dan Sulawesi Tenggara. Pertumbuhan
dan perkembangan agama Protestan ini ditandai dengan banyaknya fasilitas
yang mendukung pelaksanaan agamanya, seperti sekolah-sekolah Zending
yang banyak didirikan dibeberapa daerah, seperti di Jepara (1852), Pasundan
(1858), Irian, Halmahera, dan Buru (1859), Jawa Tengah (1859), dan Batavia
(1861).
Sementara itu, dalam bidang pemerintahan, khususnya dalam rangka
penambahan pegawai pangreh praja, didirikanlah sekolah raja atau
hoofdenschool di Bandung, Magelang, Probolinggo, dan Tondano pada tahun
1878 dan pada tahun 1893. Hoofdenschool selanjutnya diganti menjadi OSVIA
(Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren). Di sekolah ini diajarkan
mengenai hukum administrasi dan hukum negara.
Ciri pendidikan masa kolonial adalah dualistik, gradualistik, konkordansi,
dan pengawasan yang ketat. Dengan sistem dualistik pengajaran kolonial bersifat sangat diskriminatif, ada untuk orang Barat/Eropa dan ada pula untuk
pribumi. Pendidikan pribumi pun terbagi lagi, ada untuk golongan bangsawan
dan ada pula untuk rakyat jelata. Dengan demikian, secara tidak langsung
menunjukkan bahwa pemerintah kolonial tidak sungguh-sungguh dalam upaya
untuk meningkatkan kehidupan bangsa Indonesia. Diskriminasi dalam pendidikan
Kolonial dilakukan dengan adanya pengadaan pendidikan yang berdasarkan
pada kelas dan status sosial yang ada dalam masyarakat.
Dengan adanya sistem pendidikan yang diskriminatif tersebut, tidak
menjadikan pendidikan tersebut sia-sia bagi bangsa Indonesia. Hal itu dapat
dirasakan bahwa pada kemudian hari, pergerakan Indonesia banyak bermunculan
tokoh-tokoh, seperti Soetomo, Cipto Mangunkusumo, Ali Sastroamidjojo,
Soekarno, Hatta, dan tokoh-tokoh lainnya yang telah mengenyam pendidikan
di sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintahan Kolonial. Misalnya,
Soekarno dan Moh. Hatta pada kemudian hari menjadi seorang tokoh
pergerakan nasional dan berperan dalam pembangunan bangsa Indonesia.
Terlepas dari apakah tokoh-tokoh tersebut berasal dari sekolah rendahan,
priyayi, atau sekolah Eropa, yang jelas melalui pendidikan mereka mendapat
wawasan yang sangat berguna untuk menopang perjuangan menuju Indonesia
merdeka.
Mengenai kedudukan sosial-budaya, kaum perempuan Indonesia pada
masa Kolonial, ternyata sangat memprihatinkan. Mereka dianggap sebagai
kaum yang lemah. Tidak mengherankan jika dalam status sosial masyarakat
feodal, kedudukan perempuan berada di bawah kaum laki-laki. Rendahnya
status sosial perempuan tersebut diperburuk oleh adat, khususnya yang
menyangkut budaya pingitan yang menutup ruang gerak mereka. Perlakuan
lainnya adalah poligami yang dapat menyudutkan kedudukan kaum perempuan.
Apalagi kalau poligami itu dipaksakan (kawin paksa) untuk dijadikan selir
dan perkawinan muda. Poligami pada waktu itu tidak hanya dijadikan istri
ke-2,3, atau 4, melainkan lebih dari itu. Ada informasi yang menyebutkan
seorang pembesar pribumi memiliki istri lebih dari 100 orang.
Ketika Indonesia memasuki masa penjajahan, kedudukan perempuan
Indonesia sampai akhir abad ke-19 belum membawa perubahan berarti. Bahkan
kebijakan kolonial juga seolah membedakan antara kedudukan perempuan
dan laki-laki. Lihat dalam soal pendidikan. Perempuan cukup di rumah dengan
mengerjakan pekerjaan rumah, mengurus suami atau mengerjakan keterampilan
praktis kerumahtanggaan.
Berdasarkan keadaan tersebut, ada beberapa tokoh perempuan yang
berusaha mendobrak kearah kemajuan. Keharusan perempuan untuk keluar
dari rumah mulai diperjuangkan, perlunya pendidikan, penentangan poligami
juga mulai diperjuangkan. Usaha terobosan terhadap perjuangan kaum perempuan
ternyata datangnya dari kaum perempuan juga. Mereka menginginkan persamaan
hak dan kedudukan yang setara dengan pria. Tokoh yang menjadi pelopor
atau emansipasi kaum perempuan adalah R.A. Kartini (1879-1904) yang
cita-citanya termuat dalam Habis gelap terbitlah terang. Selain itu, di Jawa
Barat ada tokoh perempuan yang bernama Raden Dewi Sartika (1884-1947)
lewat sekolah Kaoetamaan Istri yang dikelolanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar