Sabtu, 17 September 2011

Biaya Pendidikan yang MAHAL

Pendidikan merupakan faktor kebutuhan yang paling utama dalam kehidupan. Biaya pendidikan sekarang ini tidak murah lagi karena dilihat dari penghasilan rakyat Indonesia setiap harinya. Mahalnya biaya pendidikan tidak hanya pendidikan di perguruan tinggi saja, melainkan juga biaya pendidikan di sekolah dasar sampai sekolah menengah keatas walaupun sekarang ini sekolah sudah mendapat Bantuan Operasional Sekolah (BOS) semuanya masih belum mencukupi biaya pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu.
Mahalnya biaya pendidikan sekarang ini dan banyaknya masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan sehingga tidak begitu peduli atau memperhatikan pentingnya pendidikan bagi sang buah hatinya, sehingga membuat anak putus sekolah, anak tersebut hanya mendapat pendidikan sampai pada jenjang sekolah menengah pertama artau sekolah menengah keatas. Padahal pemerintah ingin menuntaskan wajib belajar sembilan tahun. Jika masalah ini tidak mendapat perhatian maka program tersebut tidak akan terealisasi. Banyak anak yang putus sekolah karena orng tua tidak mampu untuk menyekolahkan anaknya.
Kondisi umum sektor pendidikan di Indonesia ditandai oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM), sekitar 58% dari tenaga kerja Indonesia hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD) atau kurang. Pada saat yang sama, hanya 4% dari tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. Prospek peningkatan kualitas SDM di masa yang akan datang pun terlihat suram. Rata-rata angka partisipasi pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi masih relative rendah (56% untuk SLTP, 32% untuk SLTA dan 12% untuk perguruan tinggi).
Ada pepatah mengatakan, orang miskin dilarang sekolah, itulah yang tersirat dipikiran saya, sebagai contoh yaitu lembaga pendidikan tinggi “Universitas Islam Negeri Malang” yang katanya sebagai kampus islamis yang banyak diminati diantara banyaknya kampus negri di Malang. Tidak kalah dengan kampus2 yang lain, kampus yang katanya penghasil manusia Ulul Albab sendiri menyuguhkan berbagai promosi yang begitu menggiurkan, sehingga kuota yang masuk melebihi kapasitas yang tersedia. Dari segi bangunannya kampus UIN memang sudah mentereng dalam kurun waktu dekat, namun entah dari mana pembiayaan bangunan secepat dan semegah itu di peroleh. Tahun ajaran ini (2011/2012) UIN mematok biaya pendidikan yang dibebankan persmester hingga 1.250 bagi mahasiswa barunya, sehingga mahasiswa lama yang biaya persmesternya kurang dari itu harus segera dilu2skan. Pokok permasalahannya adalah tidak semua wali civitas penghuni UIN adalah orang yang mampu, atau bisa dikatakan kelas menengah kebawah, sehingga beban yang diberikan kepada wali civitas pun menjadi sangatlah berat.

Dari pembiayaan diatas, UIN memukul rata kepada semua mahasiswa baru, baik yang berasal dari kelas menengah keatas, dan menengah kebawah dengan alasan kampus Islam yang bilingual harga pendidikannya pun harus mahal. Dengan kata lain, kualitas yang unggul harus diimbangi dengan biaya yang mahal, kalau tidak mau biaya yang mahal ya jangan duduk di bangku universitas yang unggul, kata salah 1 dosen UIN.
Sebelum bangunan baru UIN diresmikan, UIN telah menandatangani takken kontrak dengan IDB (islam development bank) dengan jangka waktu sekian tahun UIN harus bisa melunasi hutang kepada IDB. dengan kesepakatan tersebut kampus hijau itu harus memiliki lahan ekonomi sebagai tolok ukur UIN untuk melunasi hutang2nya. Sesuai dengan kebijakan BLU yang berlaku di kampus islam itu, lahan ekonomi satu2nya di UIN adalah mahasiswa, baik mereka yang butuh akan pendidikan, atau hanya menginginkan label sebagai mahasiswa UIN ulul albab, yang akhirnya semakin diapatiskan dengan permainan saham kebijakan dan semakin melambungnya biaya masuk UIN yang kian lama kian melangit.
Alhasil, yang terjadi, pendidikan dikelola bak perusahaan di mana pendidikan yang berkualitas diperuntukan bagi pihak yang punya kemampuan finansial. Sementara orang miskin akan tetap dengan kondisinya. Dari sini pemerintah terkesan ingin melepas tanggung jawab atas terwujudnya pendidikan (khususnya pendidikan dasar) gratis, bermutu, dan berkualitas bagi rakyat Indonesia. Ujung semua ide Depdiknas, pada Kabinet Indonesia Bersatu, sepertinya menuju pada terwujudnya privatiasi pendidikan, di mana tanggung jawab pemerintah terkurangi, bahkan dilepas sama sekali.
Melihat realita di atas, penulis memperkirakan biaya pendidikan akan semakin meguras kantong, hal ini diperkuat dengan hadirnya kebijakan-kebijakan baru yang diterapkan disetiap institusi pendidikan dengan alasan pemerintah dan elemen masyarakat sebagai pendukung atas terselenggaranya pendidikan, akan tetapi kesenjangan itu dibuktikan bahwa pemerintah telah lari dari kewajibannya serta mengalokasikan dana APBN untuk pendidikan ke arah yang tidak jelas, sehingga dalam pelaksanaannya kembali berdampak kepada masyarakat, terutama masyarakat yang miskin/ kurang mampu/yang termarginalkan.
Ahirnya tujuan pendidikan tidak lagi untuk mensejahterakan rakyat Indonesia secara menyeluruh, atau bisa dikatakan, bahwa orang yang memiliki uanglah yang boleh duduk di bangku pendidikan sampai selesai. sementara disisi lain, orang yang tidak mampu terpaksa menghentikan anak2nya dari sekolah, karena disebabkan hambatan financial.
Buruknya sistem pendidikan Indonesia semakin nyata. Biaya pendidikan yang mahal, pemenuhan sarana dan prasarana pendidikan yang tidak merata, standar kelulusan yang tidak merepsentasikan tingkat kemampuan peserta didik dalam menuntut ilmu. Ini semua terjadi karena diterapkannya sistem Kapitalisme yang menjadikan sekularisme sebagai asasnya.
Dari kesimpulan diatas dapat kita ketahui bahwa merosotnya pendidikan kita disebabkan segelintir orang yang ingin menguasai hajat hidup orang banyak, selain itu tidak ada alasan yang tepat untuk menaikkan biaya pendidikan, sehingga orang2 miskin memilih mengajarkan anaknya untuk bekerja keras dari pada duduk di bangku pendidikan yang memaksa mereka memforsir waktu untuk pembiayaan pendidikan yang tidak jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar